•  Beranda  /
  •  Public  /
  •  Seminar Dosen di STFK Ledalero, Dr. Felix Baghi Bawakan Materi Filsafat Kapabilitas dan Kemungkinan Imajinasi Keatif

Seminar Dosen di STFK Ledalero, Dr. Felix Baghi Bawakan Materi Filsafat Kapabilitas dan Kemungkinan Imajinasi Keatif

img

              Dr. Felix Baghi, dosen filsafat di STFK Ledalero membawakan materi tentang Filsafat Kapabilitas dan Kemungkinan Imajinasi Kreatif (tinjauan Filsafat Praktis Paul Ricoeur) dalam seminar dosen pada hari Sabtu, 6 Maret 2021. Seminar yang berlangsung di ruangan Clemens Pareira STFK Ledalero ini dihadiri segenap civitas akademika STFK Ledalero di antaranya para dosen dan mahasiswa dan sejumlah peserta yang mengikuti seminar ini secara daring/live streaming melalui kanal youtube STFK Ledalero. Pater Sil Ule, SVD.,S.Fil.,M.Th yang juga salah satu staf pengajar di STFK Ledalero dipercayakan menjadi moderator dalam seminar ini.

              Materi yang dipresentasikan Dr. Felix merupakan salah satu bagian penting dari karya disertasi doktoralnya saat menempuh pendidikan di Filipina. Dr. Felix menggeluti pemikiran Paul Ricoeur secara spesifik sejak lama dan karena itu, ia diminta untuk membawakan materi ini. Para dosen dan mahasiswa yang hadir tampak antusias mengikuti seminar.

              Dalam pengantar diskusi, pater Sil Ule menerangkan bahwa filsuf Paul Ricoeur yang pemikirannya akan dipresentasikan Dr. Felix merupakan salah satu filsuf  yang sangat multidisipliner karena kerap menjadi rujukan berbagai bidang studi ilmiah. “karya Paul Ricoeur menyentuh bidang yang sangat luas dalam hermeneutika, filsafat aksi, filsafat hukum, eksistensialisme, fenomenologi, etika, filsafat sejarah, ontologi, filsafat politik, dan sebagainya”, demikian kata pater Sil. Sebagai filsuf yang multidipliner, demikian pater Sil, Pater Dr. Felix Baghi akan menyoroti salah satu aspek penting yang dianggap menjadi benang merah untuk menghubungkan berbagai karya filosofis Paul Ricoeur, yaitu manusia yang secara kodrati punya kesanggupan kodrati.  Ia mengatakan bahwa kita patut bersyukur bisa mendiskusikan pemikiran yang kaya dari Paul Ricoeur. “Jika kita ingin memahami dan belajar tentang seorang filsuf, kita kiranya belajar dari orang yang berminat besar terhadap pemikiran sang filsuf. Pater Felix dalam minatnya yang besar terhadap Ricoeur kiranya menjadi narasumber terpercaya untuk memahami Ricoeur dan relevansinya di masa sekarang”, demikian kata pater Sil dalam pembuka diskusi.

                Selanjutnya dalam pemaparan materi, Dr. Felix membagi pembahasan tentang Filsafat Kapabilitas dan Kemungkinan Imajinasi Kreatif ke dalam tiga bagian penting yaitu Fenomenologi Kapabilitas, Etika Politik dan Pengakuan dan Kemungkinan Imajinasi Kreatif. Kapabilitas dalam pandangan Ricoeur adalah suatu kesanggupan untuk menyebabkan sesuatu terjadi; dan melalui kemampuan itu orang mengakui diri dan mengidentifikasi dirinya. Dalam pemikiran Ricoeur, kesanggupan itu dapat berupa, pertama, kesanggupan berbicara (level linguistik) yaitu kapasitas spontan yang menimbulkan wacana. Dalam berbicara orang menyampaikan sesuatu, tentang sesuatu, dan terarah kepada orang lain/pendengar. Dr. Felix mengatakan, dalam kehidupan kita, tindakan dan berbicara saling mengandaikan. Tindakan sebagai tindakan hanya dimengerti dalam kisah dan narasi. Kedua, kesanggupan untuk Bertindak. Manusia adalah agen dari perubahan. Konsep ini berkaitan erat dengan filsafat tindakan.  “Di balik sebuah teks, tersirat banyak sekali aksi dan tindakan yaitu tindakan naratif”, demikian Dr. Felix. Ketiga, kesanggupan mengisahkan/narasi yaitu kesanggupan membuat narasi tentang kejadian dan karakter. Kesanggupan ini berkenaan dengan identitas manusia. “Setelah lima puluh tahun imamat misalnya orang membuat narasi tentang hidupnya”, demikian Dr. Felix. Dalam narasi, manusia menemukan unsur keutuhan dirinya. Manusia merefigurasi kehidupannya sendiri dan membuat perubahan dengan narasi. Keempat, kesanggupan berjanji. “Menurut Ricoeur, manusia sering tidak tepati janji. Janji berkaitan dengan kesanggupan untuk menjaga janji atau Capicity of promise. Janji berarti  tidak mengingkari dan itu berarti kita menunjukannya dalam tindakan nyata”, pungkasnya. Kelima, kesanggupan mengingat. Dalam kehidupan manusia, mengingat adalah suatu kapasitas. Kita mengingat kenangan yang damai (peaceful memory), kenangan yang indah (happy memory) dan memori tentang rekonsiliasi (reconciled memory). Dr. Felix mempertegas, “Dalam mengingat, kita bukan mempersoalkan siapa yang mengingat tetapi apa yang diiingat. Apa alasannya? Mengingat berkaitan dengan kesanggupan mengampuni dan mengasihi, tentang memori kolektif. Misalnya tentang peristiwa G30/S PKI. Apakah kita mengingat? Atau meningat dalam sebuah rekayasa?”. Di sini, mengingat perlu dilihat sebagai suatu kesanggupan yang membutuhkan kekuatan objektivitas. Dalam pembahasannya yang runtut dan terarah, Dr. Felix kemudian masuk pada poin keenam yaitu kesanggupan dalam tanggung jawab moral. Konsep ini berkaitan dengan hubungan perkataan dan perbuatan. Dr. Felix menjelaskan, dalam dunia sosial  praktis seorang pelaku membuat janji dengan orang lain. Jika janji ini demi kebaikan bersama maka tanggung jawab adalah suatu kesanggupan mutlak yang harus dipenuhi. Membuat janji harus juga bertanggung jawab terhadap janji.

             Dosen yang pernah mengikuti kuliah filsafat di Leuven-Belgia ini kemudian menerangkan kapabilitas personal sebagai suatu testimoni diri. Testimoni berarti keyakinan diri untuk memperlihatkan kesanggupan diri terhadap yang lain. Orang harus memiliki kepercayaan diri untuk mengungkapkan kesanggupan dalam berbagai situasi kehidupan; penderitaan, sukacita, dan lain-lain. Dengan keyakinan diri yang penuh, demikian Dr. Felix, manusia bertanggungjawab atas perbuatannya sebagai agen perubahan. “Ricoeur belajar dari Aristoteles tentang keyakinan hidup yang baik. Kesanggupan bukan suatu egoisme. Karena itu, kapabilitas pribadi selalu terbuka terhadap kapabilitas sosial”, ungkapnya.

            Dalam bagian kedua pembahasan, Dr. Felix berbicara tentang Etika Politik dan Pengakuan. Menurutnya, pengakuan tidak pernah tuntas dan final. Setelah keterbukaan terhadap kapabilitas sosial, orang membutuhkan pengakuan. Saya butuh diakui dan orang lain pun membutuhkan pengakuan, dua ketersalingan yang mutual. Paul Ricoeur dalam pandangannya mempertegas bahwa, pengakuan adalah suatu proses dinamis dan terbuka, “pengakuan itu usaha untuk menemukan cinta dan damai sebagai bagian penting dari kehidupan. Tapi itu terus dalam proses”, pungkas Dr. Felix.

Dalam pokok pembahasan tentang etika, Dr. Felix menerangkan tiga struktur etika yaitu martabat diri, martabat sosial dan keadilan dalam institusi. Tiga pokok ini menurut Dr. Felix adalah sintese yang dipikirkan Ricoeur untuk melacak proses dinamis pengakuan dan kapabilitas manusia. Dr. Felix mengatakan,”Ricoeur membuat sintese besar tentang etika yaitu siapa itu manusia? manusia macam apa? harus dilihat dari cita-cita teleologis. Cita-cita itu berhubungan dengan tanggung jawab dan  kebajikan praktis”. Tiga struktur etika ini menjadi konsep yang tercipta dalam suatu institusi yang adil, suatu usaha untuk menciptakan hidup baik. Selanjutnya, Dr. Felix mencontohkan institusi yang adil itu seperti biara, keluarga dan negara.

Logika Kasih

            Dr. Felix melontarkan pertanyaan paling mendasar, apakah fenomenologi kesanggupan berakhir dengan etika pengakuan? Ia kemudian menjawab bahwa pengakuan yang mutual bukan tujuan dalam dirinya melainkan ia adalah kemungkinan perspektif yang baru. Dr. Felix merefigurasi pemikiran Ricoeur dengan menyebut logika kasih sebagai logika yang melampaui pengakuan. Manusia memiliki imajinasi kreatif yaitu kreativitas kehendak agar ia dapat hidup dengan perspektif yang baru. Ia menyebut, “perjuangan kita bukan hanya sampai pada hubungan mutual tetapi cinta dan keadilan”.

            Logika kasih, dalam paparan Dr. Felix seharusnya menjadi dasar pijak bagi seluruh imajinasi kreatif manusia. Jika di dalam keadilan, penekanannya pada kesetaraan dan distribusi maka logika kasih justru tanpa syarat. Kasih adalah kasih. Dalam logika kasih tidak dibutuhkan suatu tuntutan yang kalkulatif.  

Dalam kaitan derngan imajinasi kreatif, Dr. Felix kemudian mengatakan bahwa Ricoeur berbicara tentang politik yang rapuh. Namun dalam kerapuhan itu selalu muncul harapan sebagai horizon. “Harapan selalu bertumbuh. Harapan adalah prospek. Semuanya terbuka untuk masa depan”, tegas Dr. Felix. Namun, ia justru mempertanyakan, apakah kita diarahkan kepada situasi yang lebih baik? Justru pada poin ini, ia menerangkan kembali tentang sifat dinamis kesanggupan manusia. Kapabilitas pribadi berkaitan dengan kapabilitas sosial dan karakteristik mereka adalah terbuka kepada perspektif baru.

Merefigurasi Hidup

            Dr. Felix pada akhir pemaparannya berbicara tentang dimensi yang belum tuntas dalam upaya pengakuan yang mutual dan imajinasi kreatif. Kesanggupan kodrati yang diperoleh manusia tidak pernah tuntas. Karena itu, manusia harus selalu merefigurasi hidupnya terus menerus dengan metafora yang kaya. Manusia perlu meredeskripsi hidupnya untuk bergerak maju. Di bagian ini, Dr. Felix mengutip pernyataan Bapa Suci Paus Fransiskus, “let us dream” (Mari kita bermimipi) sebagai suatu upaya imajinatif tentang masa depan yang lebih baik. “yang paling penting itu merindukan situasi yang lebih baik”, kata Dr. Felix.

            Dalam konteks  politik, Dr. Felix menulis, “politik yang prospektif  terbuka untuk aspek baru, dimensi baru, dan cakrawala baru tentang makna hidup yang baik dalam suatu institusi yang berkeadilan.” Politik prospektif sesungguhnya belum tuntas. “belum tuntas bukan suatu hal yang buruk, tetapi berarti masih terbuka suatu harapan yang dapat menimbulkan pertanyaan baru”, ungkapnya. Bahkan, ia menyebut, belum tuntas merupakan identitas kita. Dr. Felix kemudian menegaskan bahwa ‘belum tuntas’ mengundang kita untuk merefigurasi hidup kita dalam korelasi dengan cakrawala harapan untuk pelbagai kemungkinan di masa depan. “Belum tuntas dalam hal pengakuan yang mutual, baik dalam berpolitik, berkomunitas, semuanya merupakan tantangan tanpa akhir, dan tantangan itu tetap membuat kita untuk selalu aspiratif dan prospektif”, ungkap Dr. Felix menutup pemaparannya.

Sesi Diskusi

            Selanjutnya, moderator membagi sesi diskusi menjadi tiga termin. Dalam termin pertama,  pater Leo Kleden, dosen filsafat yang juga tekun menggeluti pemikiran Paul Ricoeur berkomentar bahwa pemateri telah mengantar kita dari hermeneutika teks kepada hermeneutika hidup. Namun menurutnya, ada satu mata rantai yang terputus yaitu mimesis atau tiruan kreatif. Ia kemudian menjelaskan dengan sangat terstruktur tentang mimesis tiga rangkap yakni mimesis satu (dalam level tindakan manusia), mimesis dua (tindakan yang dikisahkan), dan mimesis tiga (kisah yang merefigurasi dan mentransformasi tindakan pembaca). Menurutnya, tiga mimesis ini selalu berputar dalam siklus yang sama. Selanjutnya, Pater Leo berkomentar tentang konsep harapan yang diangkat di bagian akhir pembahasan Dr. Felix. Harapan menunjukan suatu horizon yang terbuka dan belum tuntas. Horison itu menunjukan dua kemungkinan yaitu pertama, manusia sebagai suata harapan yang sia-sia sebagaimana dalam pemikiran seorang eksistensialis yang ateis, Jean Paul Sartre dan kedua, suatu harapan sebagai orang yang beriman seperti St. Agustinus sebagaimana dalam doanya, ”Engkau menciptakan kami ya Tuhan, dan hati kami selalu gelisah sebelum beristirahat dalam Engkau”. Pater Leo juga menegaskan tentang skema yang telah dipaparkan yaitu dari teori teks, teori tentang tindakan manusia yang diterjemahkan dalam kehidupan sosial politik dan berakhir dengan suata harapan yang terbuka ke masa depan.

            Pertanyaan kritis lain diajukan oleh pater Otto Gusti. Dosen filsafat politik ini, mempertanyakan kebaharuan perspektif politik pengakuan dari Paul Ricoeur. Selain itu, ia juga mempertanyakan apakah biara dan keluarga juga sebagai suatu institusi yang mengupayakan keadilan normatif padahal menurutnya biara dan keluarga adalah komunitas karitatif dan ruang privat. Lebih spesifik, pater Otto kemudian mempertanyakan apa itu keadilan menurut Ricoeur.

Dr. Felix menjawab bahwa Ricoeur melihat pengakuan sebagai proses dinamis dari kehidupan manusia. “Dia (Ricoeur) melihat pengakuan itu sebagai proses dinamis dari kehidupan manusia dalam relasi sosial dengan orang lain. Tapi sering proses itu bisa sangat rapuh dan sangat baik. Tapi di dalamnya ada mutualitas. Saya akui diri level personal dan terbuka pada pengakuan yang lain. Demikian juga yang lain. Pengakuan sebagai proses dinamis bukan normatif. Bisa saja saya salah mengerti dan saya salah mengakui”, demikian Dr. Felix. Dalam konteks biara, sebagaimana pertanyaan pater Otto, Dr. Felix mengatakan, biara juga ada aturan normatif. Ia sebenarnya hanya memberi contoh atas penjelasan Ricoeur tentang institusi yang adil. Menjawabi apa itu keadilan, Dr. Felix melanjutkan bahwa Ricoeur memandang keadilan sebagai suatu keterbukaan yang bisa didiskusikan. “Dia (Ricoeur) buat perbedaan antara keadilan dan kasih. Kasih ya kasih. Tetapi keadilan tergantung dari konteks. Tidak ada keadilan yang normatif. Keadilan masih bisa didiskusikan”, papar Dr. Felix. Sejalan dengan jawaban ini, pater Leo Kleden kembali mempertegas respon Dr. Felix bahwa Paul Ricoeur melihat keadilan dalam konteks sosial, “keadilan itu ditentukan oleh norma sosial. Norma itu dinamis, bisa diperbaiki”, tambahnya.

            Pertanyaan kritis lain juga diajukan oleh pater Frans Ceunfin dan pater Amandus Klau. Pater Frans bertanya tentang janji ketika membandingkannya dengan kisah tiga orang yang diberi talenta dalam injil. Sedangkan pater Amandus bertanya tentang konsep kekuasaan menurut Ricoeur dan validitas klaim terhadap kapabilitas. Menurutnya, ada klaim yang tidak jujur dalam kehidupan praktis sosial politik. Terhadap dua pertanyaan ini, pemateri menjawab dengan detail. “Tidak mampu menepati janji juga suatu kapabilitas manusia. Homo Capas dan Homo Incapas. Kesadaran bahwa saya tidak mampu juga positif. Bagian dari kerapuhan manusia. Fenomenologi falilibiltas menunjukan bahwa manusia sering salah. Ini yang membuka peluang untuk berkembang. Kita mendayaguna kelemahan kita. Ini yang dinamakan imajinasi kreatif”, kata Dr. Felix. Menjawabi pertanyaan tentang konsep kekuasaan, Dr. Felix mengatakan, Ricoeur menggagas kekuasaan sebagai kekuatan bersama atau power in common. Namun, menurutnya kekuasaan ini juga rapuh dan karena itu selalu terbuka terhadap peluang baru. Kekuasaan itu suatu idealisme. Selanjutnya tentang validitas klaim, Dr. Felix menjelaskan tentang tiga level yaitu keyakinan pribadi, relasi sosial dan institusi. Ketiga level ini selalu memiliki peluang berubah karena kerapuhan manusia dan cara berpolitik.

seminar dosen 2021 maret 4Dalam termin kedua diskusi, pater Yanus Lobo, dosen Teologi di STFK Ledalero meminta penjelasan tentang fenomenologi hermeneutika dan penyebab kerapuhan manusia. Apakah, kerapuhan yang dimaksud Ricoeur adalah dosa sebagaimana sebutan dalam teologi? Pertanyaan ini direspon oleh pare Leo Kleden dan pater Otto Gusti. Pater Leo mengatakan bahwa manusia selalu ada dalam ketegangan yaitu keterbatasan dan keterbukaan. “Kerapuhan itu ada di situ”, tambahnya. Selanjutnya, pater Otto memberi komentar dengan basis argumentasi demokrasi. “Dalam demokrasi, kerapuhan ditafsir sangat positif. Demokrasi hidup dari kesadaran bahwa manusia dapat berbuat salah”. Menurutnya, di abad ke-20 muncul fundamentalisme dan deliberasi karena sembohyang “we can no wrong”. Penulis buku Politik Diferensiasi versus Politik Martabat Manusia ini mengatakan, kesadaran bahwa manusia itu rapuh membuat demokrasi hidup. Lebih lanjut ia berkomentar, UU ITE yang diberlakukan di Indonesia dan maraknya buzzer adalah negasi dari manusia sebagai makluk yang rapuh. Pendapat ini pun diafirmasi oleh Dr. Felix, “demokrasi lahir dari kerapuhan”.

            Suasana seminar semakin menarik ketika seorang mahasiswa berkomentar bahwa manusia di Indonesia lebih condong kepada budaya janji daripada budaya maaf. Menurutnya, kalau manusia hanya berjanji maka ia menutup diri untuk berbuat kasih. Dr. Felix memberi respon, “ada memori tentang kebenaran, baru ada rekonsiliasi”. Menurut Dr. Felix pengampunan selalu dilihat dalam konteks memori kolektif dan kebenaran sejarah.

            Pertanyaan terakhir diskusi ini diajukan oleh pater Pice Dori tentang bagaimana mendamaikan interese pribadi dan kolektivitas terutama di tengah budaya yang sangat menekankan  kolektivitas. Doktor ilmu Pedagogi ini juga mendapat kesan bahwa Ricoeur mengeksklusifkan Allah. Terhadap pertanyaan ini, pater Leo berkomentar bahwa, pemateri telah menguraikan secara metodis. Pemikiran Ricoeur memiliki kesatuan yang utuh tetapi dalam penjelasan kita memilih dari mana kita menjelaskan. Sedangkan, Dr. Felix menegaskan bahwa iman kita kepada Allah butuh keterbukaan untuk merefigurasi Allah. “Allah sudah begitu, tetapi kita harus merefigurasi Allah secara terus menerus”, pungkasnya menutup diskusi yang penuh pemikiran kritis itu.

            Seminar ilmiah ini diakhiri dengan penyerahan sertifikat kepada moderator dan pemateri. Ketua STFK Ledalero, pater Otto Gusti dalam kesempatan itu menyampaikan terima kasih kepada pater Dr. Felix Baghi dan pater Sil Ule. Pater Otto juga mendorong para dosen di STFK Ledalero untuk berani mempresentasikan hasil riset sesuai bidang ilmu yang digeluti dalam seminar dosen selanjutnya. “jangan takut untuk tampil, karena kita rapuh”, ungkapnya disambut tepuk tangan para hadirin seminar. (Paul Tukan)

ikon gambarGalery Seminar Dosen

 

 

 

           

         

         

 

 

           

 

           

 

 

 

             

 

BAGIKAN