•  Beranda  /
  •  Public  /
  •  Paradigma Teori Diskursus, Model dalam Pendasaran HAM

Paradigma Teori Diskursus, Model dalam Pendasaran HAM

img

(Ket. Foto: Tampak Rio Nanto (paling kiri) sebagai moderator, Dr. Otto (tengah) sebagai pemateri dan Dr. Budhy (paling kanan) sebagai penanggap dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan IFTK Ledalero)

 

Rektor Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero, Dr. Otto Gusti Madung mengatakan bahwa paradigma teori diskursus merupakan model yang paling cocok dalam pendasaran HAM terutama dalam konteks masyarakat kontemporer yang diwarnai dengan proses globalisasi di satu sisi tapi diversitas, perbedaan dan konflik budaya di sisi lain. Hal itu disampaikannya dalam Seminar Nasional bertema Teori Diskursus, Pendasaran Hak-hak Asasi Manusia dan Agama yang diselenggarakan di IFTK Ledalero, Sabtu (24/9/2022).

Dalam seminar yang dimoderatori oleh Rio Nanto itu, Dr. Otto menegaskan, paradigma teori diskursus coba membangun korelasi antara validitas universal dan basis kultural-politis HAM yang terbatas. Paradigma teori diskursus juga, lanjutnya, menunjukkan tuntutan objektivitas dan universalitas HAM lewat korelasi antara hak asasi manusia dan konsep kedaulatan rakyat. seperti dikembangkan oleh Jurgen Habermas.

“Teori diskursus tetap berpegang pada prinsip unrversalitas paham hak-hak asasi manusia sambil mengakui bahwa universalitas tersebut bukan sesuatu yang terberi (given) melainkan sebuah aspirasi, sebuah perjuangan untuk membangun platform bersama di tengah perbedaan, konflik perpecahan dan perjuangan,” tegasnya.

Dr. Otto menambahkan, dalam pendasaran hak-hak asasi manusia, pendekatan teori diskursus dapat melampaui paradigma relativisme budaya di satu sisi dan absolutisme di sisi lain. Paradigma relatif dipandang terlalu lemah sebagai model pendasaran HAM. Validitas universal, egaliter dan kategoris hanya dapat dibangun di atas sebuah prinsip yang universal, egaliter dan kategoris pula. Validitas seperti Itu bersifat rasional.

Paradigma absolut, pendasaran HAM atas dasar agama, martabat manusia dan hukum kodrat, juga menurutnya dianggap terlalu kuat dan membutuhkan pengandaian-pengandaian metafisis. “Hal ini tidak sesuai dengan kondisi masyarakat kontemporer yang diwarnai dengan pluralisme pandangan hidup, keyakinan filosofis dan religius. Dalam kondisi seperti ini klaim-klaim metafisis seperti ini tidak dapat diterima lagi atau kehilangan basis  validitas universalnya,” tandasnya.

Akan tetapi, kendatipun agama tidak dapat dijadikan landasan etis pendasaran paham hak asasi manusia, peran agama dalam mempromosikan dan kerja advokasi hak asasi manusia, menurut Dr. Otto, tetap relevan dan signifikan. Setiap agama memiliki intuisi kemanusiaan yang melampau solidaritas komuniter agama-agama itu sendiri.

“Dalam tinjauan historis tentang relasi antara hak asasi manusia dengan Kekristenan di Eropa kita melihat bahwa konsep martabat manusia sebagai landasan etis hak asasi manusia berkembang dalam tradisi hukum kodrat yang bersinergi dengan ajaran Yudeo-Kristiani. Kendatipun harus diakui bahwa Gereja institusional dalam perjalanan sejarah lebih banyak menyesuaikan diri dengan budaya feodal Eropa, sehingga gerakan hak asasi manusia pada abad ke-17 juga dimengerti sebagai protes atas klerikalisme kekuasaan Gereja dan monarki yang absolut,” ungkapnya.

Beliau juga menambahkan bahwa peran agama dalam mempromosikan dan menegakkan hak-hak asasi manusia sangat signifikan karena agama dapat menjadi sumber motivasi bagi warga negara untuk taat pada konstitusi dan hak-hak asasi manusia serta menunjukkan solidaritas bagi warga negara yang lain. Perspektif hak asasi manusia dapat mempertajam dan mendorong moralitas agama untuk melampaui solidaritas komuniter agama itu sendiri serta mempertajam komitmen agama untuk berpihak pada korban.

Sementara itu, Dr, Budhy Munawar-Rachman, dosen Islamologi dan Filsafat Islam STF Driyarkara, dalam tanggapannya menyetujui tesis Dr. Otto bahwa dalam kacamata teori diskursus, pendasaran paham hak-hak asasi manusia tidak dapat diasalkan pada basis prapolitis nilai-nilai religius atau doktrin komprehensif lainnya.

Sebagai seorang yang belajar filsafat dan alumni dari STF Driyarkara, beliau mengamini apa yang dikatakan oleh Dr. Otto, tetapi dalam pengalamannya ketika  bekerja sebagai aktivis HAM dan Kebebasan Beragama, hal itu tidak mudah baginya bahkan sulit sekali dan mengakibatkan banyak sekali tuduhan-tuduhan terhadapnya.

“Saya selalu dituduh sebagai penganut Islam liberal, Islam sekuler. Itu artinya Islam yang sesat. Jadi saya sangat setuju dengan tesisnya Pater Otto tetapi bagaimana itu dipikirkan bisa secara optimal dan secara baik dan harmonis bisa kemudian HAM dalam arti yang “sekuler” bisa diterima oleh komunitas Islam yang mempunyai pandangan atau doktrin komprehensifnya sendiri,” katanya.

Selain itu beliau juga menyetujui apa yang dikatakan oleh Dr. Otto bahwa kendatipun agama tidak dapat dijadikan landasan etis pendasaran paham hak asasi manusia, peran agama dalam mempromosikan dan kerja advokasi hak asasi manusia tetap relevan dan signifikan.

Namun, menurut Dr. Budhy, ada dua doktrin komprehensif yang betul-betul berdiri sendiri-sendiri dan telah mempunyai sejarahnya masing-masing.  “Yang namanya Syariah itu sesuatu yang sudah mapan dan menjadi bagian dari keberagamaannya. Sementara sebagai komunitas global, komunitas internasional, dan sebagai bangsa nasional ada hak asasi manusia. Kedua doktrin komprehensif ini ketika didalami dengan baik rupanya ada konflik dan konflik ini yang kemudian memutuskan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) untuk membuat HAM versi sendiri, HAM Islam namanya,” tandasnya.

Terkait dengan dua doktrin komprehensif ini, demikian Dr. Budhy, bagaimana sebenarnya bisa memahami dan mengembangkan kompatibilitas tersebut. Menurut Dr. Budhy, ada beberapa cara yang dilakukan dalam komunitas muslim Indonesia. Yang pertama dengan cara dipaksa sinkron atau cocokologi. Cocokologi ini, menurut Dr. Budhy, merupakan istilah yang enak didengar.. Yang kedua ditafsir ulang dengan mendehistorisasi teks dan menjadikannya hanya sebagai alegori, ibarat atau metafora.

"Jadi setelah dilihat teks-teks suci itu ternyata ada yang tidak cocok dengan HAM. Kita tafsir ulang. Contoh yang paling mudah adalah soal perbudakan. Perbudakan itu ada dalam teks suci bahwa orang boleh mempunyai budak. Untuk sekarang ini hal itu tidak mungkin. Maka ditafsir ulanglah apa arti perbudakan. Perbudakan di sini adalah metafor," tegasnya. 

Yang ketiga cherry-picking. Artinya pilih-pilih karena meninggalkan teks yang sudah jelas melawan semangat zaman sekarang, lalu memilih yang masih relevan.  Itu merupakan sesuatu hal yang sangat kontroversial dan menjadi hal yang kontraproduktif.

Yang keempat mencari moralitas bentuk kearifan kita sendiri dan ini kemudian dipakai sebagai acuan dalam membaca HAM. Kemungkinan keempat ini yang biasa dilakukan oleh cendekiawan muslim.

“Jadi kalau kita bicara agama dan HAM, Syariah dan HAM. Sebenarnya yang harus dikompatibilitaskan atau diarusutamakan, apakah agama atau apakah HAM. Tadi dari tesisnya Dr. Otto, kita sudah melihat bahwa HAM tidak boleh pendasarannya pada agama. Itu artinya agama yang harus dimainstreamkan oleh HAM. Bukan HAM yang harus dimainstream oleh agama,” tegasnya.*

 

*Febry Suryanto

 

BAGIKAN