Studium Generale I IFTK Ledalero Berbicara tentang Dasar Teoretis Hubungan Iman dan Adat

img

(Ket. foto: suasana saat Kuliah Umum I di Hotel Pelita, Maumere. Tampak di depan peserta Dr. Georg Kirchberger, narasumber dan Dr. Puplius M. Buru, moderator )

 

IFTK Ledalero kembali menyelenggarakan Kuliah Umum (Studium Generale). Kegiatan tersebut merupakan bagian dari perwujudan pengabdian kepada masyarakat. Hal itu disampaikan oleh Dr. Puplius Meinrad Baru selaku moderator dan ketua panitia Studium Generale tersebut dalam sambutannya membuka kegiatan itu. “Pengabdian kepada masyarakat akan terwujud dalam semester ini dengan menyelenggarakan kuliah umum dengan tema besar Hubungan Iman dan Adat,” ungkapnya.

Lewat Studium Generale ini, lanjut Dr. Puplius, para dosen teologi IFTK Ledalero berusaha mengangkat hal-hal aktual yang kadang menghambat perkembangan Gereja. Kegiatan ini, lanjutnya, bertujuan untuk membantu umat Katolik agar mengembangkan iman dalam konteks adat istiadat mereka sendiri dan agar kehidupan Gereja tidak menjadi asing bagi mereka.

Untuk diketahui, kegiatan ini akan dilakukan enam kali dalam satu semester ini, khususnya dari bulan September sampai November. Setiap bulan akan dibuat dua kali pertemuan. Seluruh kegiatan tersebut akan dilaksanakan di Hotel Pelita, Maumere.  

Kuliah umum I menghadirkan Dr. Georg Kirchberger sebagai narasumber. Kuliah Umum I yang terjadi pada Sabtu (3/9) sore itu mengusung tema “Dasar Teoretis-Dogmatis Hubungan Iman dan Adat Serta Beberapa Contoh Perjumpaan Gereja dan Budaya Baru dalam Sejarah Gereja”.

Pada awal pemaparan materinya, Dr. Georg menegaskan bahwa inkulturasi bukan sesuatu yang baru dalam Gereja, tetapi sudah ada sepanjang sejarah Gereja tersebut. Iman Kristiani, lanjutnya, merupakan jawaban atas wahyu Allah yang mana jawaban itu menyata dalam budaya konteks hidup kita.

“Iman Kristiani merupakan jawaban atas wahyu Allah dan wahyu Allah dijelaskan Konsili Vatikan II sebagai pernyataan diri Allah, sebagai suatu tindakan Allah, di dalamnya Allah memperkenalkan diri (bdk. Dei Verbum no.2). Kita menjawab Allah dalam iman yang kita ungkapkan dalam konteks budaya kita,” jelasnya. Berarti, demikian Dr. Georg, iman kita akan Allah merupakan suatu peristiwa dialogal, peristiwa komunikasi antara Allah dengan kita manusia konkret yang hidup dalam situasi historis, sosial, dan budaya tertentu yang membentuk identitas kita.

Dr. Georg juga membeberkan beberapa contoh komunikasi Allah itu dalam sejarah Gereja, seperti dalam kehidupan jemaat perdana di mana mereka menjelaskan siapa itu Yesus dalam suasana budaya Ibrani. Budaya ini membuat pengertian tentang Yesus dengan menggunakan berbagai gelar penting dari Perjanjian Lama, seperti Mesias, Putra manusia, dan hamba Yahwe yang kemudian menghasilkan sejumlah gambaran tentang Yesus sebagaimana dalam Perjanjian Baru. Selain itu, dijelaskannya juga pertemuan Gereja dalam budaya Helenis. Budaya ini mejelaskan Yesus menurut fungsinya, yakni sebagai Mesias yang memerintah kita dan mesti ditaati, hamba akhir zaman yang mengadili kita, dan sebagainya.

Beberapa Pelajaran Penting

Dari pertemuan-pertemuan tersebut, demikian Dr. Georg, menghasilkan beberapa pelajaran penting mengenai gagasan baru tentang Yesusu Kristus, seperti, pertama,  gagasan kesayangan atau fokus dalam gaya berpikir dan cara menilai yang mewarnai budaya tertentu. Beliau mengangkat contoh pertemuan Gereja dengan suku-suku Jerman yang kemudian mengalami pertobatan. “Raja suku Frank, Karel Agung, mendekretkan bahwa suku-suku Jerman harus menggunakan liturgi Romawi dalam bahasa Latin dan ia juga mengangkat sejumlah cendikiawan dari sukunya, agar mereka mempelajari karya-karya klasik para bapa Gereja untuk mengetahui ajaran dan tradisi Gereja Kristiani,” jelasnya.

“Pelajaran kedua,orang dalam budaya baru mesti pelajari tradisi dan warta tentang Yesus Kristiani yang dirumuskan dalam konteks budaya lain, maka gampang terjadi bahwa mereka salah mengerti. Namun, bila mereka sungguh berjuang untuk mengerti isi iman Kristiani, maka salah paham itu akan menghasilkan suatu diskusi,” ungkapnya. Pelajaran ketiga, tambahnya, bahwa inkulturasi sebagai usaha menerjemahkan iman yang dimiliki dan dihayati dalam budaya asal misionaris (mereka yang menyebarkan Injil ke suatu wilayah) itu ke dalam bahasa dan penghayatan yang dimiliki oleh mereka yang menjadi sasaran misi itu (para penghuni suatu wilayah di mana seorang misionaris mewartakan Injil).

Inkulturasi Menurut Beberapa Konsili

Dalam Konsili Trente, sebagaimana dijelaskan oleh dosen teologi tersebut, proses inkulturasi yang terjadi sebelumnya dimatikan dan terjadi suatu penyeragaman yang menyangkut segala bidang dalam Gereja  Katolik. “Atas dasar itu, pada abad ke XIX, Gereja menutup diri terhadap  budaya perkembangan masyarakat,” jelasnya.

Kemudian muncul gerakan misi dan pandangan normatif tentang budaya yang mana waktu itu masuk dalam kebudayaan Eropa yang berkembang. Misionaris asal Jerman itu mengutarakan bahwa pandangan normatif mengenai budaya itulah yang menjadi latar belakang dari gerakan misi yang menjadi kuat sejak pertengahan abad XIX yang mengekspor Kekristenan dalam pakaian budaya Eropa ke dalam semua wilayah yang secara politis dikuasai oleh negara-negara Eropa. Atas latar belakang inilah banyak orang mendapat kesan bahwa inkulturasi merupakan hal baru dalam Gereja yang tidak ada dalam teologi pada abad-abad sebelumnya.

Inkulturasi kemudian mendapat ruang dalam Konsili Vatikan II. Sejak Konsili Vatikan II, tegas Dr. Georg, semua Paus dan juga pimpinan Gereja regional dan lokal berulang kali menegaskan perlunya inkulturasi dan mendesak agar terjadi dialog intensif dengan budaya.

Kendati demikian, proses inkulturasi yang terjadi saat ini pun belum maksimal diimplementasikan oleh Gereja. Masih ada perlakuan sentralisasi terhadap upaya inkulturasi tersebut. Sebagaimana diutarakan oleh Dr. Georg bahwa secara konkret, hukum dan struktur Gereja disentralisasi lagi secara ketat, sehingga tidak bisa ada dialog dan diskusi bebas dan terbuka. Maka, selain sungguh membuka diri terhadap budaya kita dan berusaha mengerti dan mengungkapkan iman akan Yesus Kristus dengan cara berpikir dan strukur pola budaya kita, kita mesti berjuang agar struktur dan terutama hukum sentralisasi dalam Gereja Katolik dicairkan dan diatasi.

Setelah pemaparan meteri dilanjutkan kegiatan diskusi (tanya jawab). Beberapa di antaranya, seperti bapak Don Gara dan bapak Tedi Yoga bertanya tentang sentaralisasi yang dilakukan Gereja terhadap usaha inkulturasi. Dr. Georg menanggapinya bahwa senantiasa ada usaha resentralisasi dalam Gereja. Dalam banyak kenyataan, katanya, banyak pastor yang cenderung mengikuti kemauannya. “Untuk beberapa waktu tidak adak konsep pastoral, misalnya MUSPAS yang diselenggarakan tidak berbuah. Para pastor cenderung mengikuti kemauannya,” tandasnya. Salah satu peserta diskusi, ibu Lenty, mengutarakan bahwa inkulturasi bertujuan memadukan dua hal berbeda menjadi sesuatu yang harmonis. “Inkulturasi itu tentang dua hal yang dipadukan menjadi sesuatu yang harmonis. Sangat diharapkan supaya terjadi dialog antara kedua hal tersebut,” tegasnya.*

*Fonsi Orlando

 Galeri Kegiatan

 

SHARE THIS