Dalam rangka memperingati Hari Hutan Sedunia (International Forest Day) yang dirayakan setiap tanggal 21 Maret, Senat Mahasiswa STFK Ledalero menyelenggarakan seminar nasional via online yang bertema “Hutan dan Wacana Pembangunan Berkelanjutan” pada Senin (21/3) malam. Hadir sebagai narasumber Dr. Sonny Keraf, Dosen Unika Atma Jaya Jakarta dan Ferdi Hasiman, Peneliti pada Alpha Research Databese, Jakarta. Seminar yang dimoderatori oleh Elias Amut, mahasiswa Pascasarjana Teologi STFK Ledaelero, ini bertujuan untuk menyadarkan peserta webinar akan pentingnya menjaga hutan sebagai salah satu sumber utama kehidupan.
Sarnus Joni Harto, ketua Senat Mahasiswa STFK Ledalero, dalam opening speech menjelaskan alasan dilaksanakannya seminar nasional ini. Menurutnya seminar ini dilaksanakan sebagai respons mahasiswa STFK Ledalero terhadap dua momentum yakni, pertama, undangan Panggung Aksi Laudato Si dan kedua, Hari Hutan Sedunia 21 Maret. “Dengan melaksanakan seminar ini, kami bermaksud untuk mendorong diseminasi pengetahuan tentang persoalan-persoalan seputar hutan dan pembangunan yang berkelanjutan. Dengan itu diharapkan tercipta suatu kesadaran etis ekologis demi suatu iklim kehidupan dan peradaban yang semakin baik ke depannya,” tandasnya.
Mengawali rangkaian kegiatan sesi presentasi dan diskusi, moderator mengutip pernyataan Siti Nurbaya yang mengatakan bahwa pembangunan yang berjalan dalam era Jokowi tidak boleh berhenti atas nama deforestasi, sebab pemberhentian pembangunan atas nama deforestasi sama halnya melawan amanat konstitusi untuk menyejahterakan masyarakat. Pernyataan ini, menurut Elias Amut, tampil setelah sehari Presiden Jokowi menyatakan komitmen Indonesia untuk menjadi bagian dari solusi atas perubahan iklim yaitu sektor kehutanan dan lahan Indonesia akan menjadi penyerap karbon.
Hutan dan Wacana Pembangunan Berkelanjuan
Dalam pemaparannya, Dr. Sonny Keraf menjelaskan beberapa poin penting terkait hutan dan wacana pembangunan berkelanjutan. Ia menjelaskan fungsi hutan, permasalahan seputar ironi dan kontradiksi pembangunan hutan, dan beberapa data kerusakan hutan. Tak lupa ditawarkannya beberapa solusi untuk mencegah dan mengatasi permasalahan tersebut. “Keberadaan hutan sebagai sarana vital pembangunan kehidupan manusia menghasilkan dua data perbandingan kehidupan yang kontradiksi. Pada satu sisi, hutan memberikan banyak kemudahan bagi kehidupan manusia. Namun di sisi lain, kebaikan itu nampaknya juga menawarkan potensi bagi umat manusia untuk terus mengeruk dan merambah segala kekayaan yang terkandung di dalamnya,“ tegasnya.
Menurut Dr. Sonny, ada beberapa tawaran solutif yang mesti mendapat perhatian bersama, yakni perubahan etika yang menekankan perubahan kesadaran dan perilaku manusia, perubahan sistem politik, perubahan dan peralihan dari model ekonomi kapitalistik linear ke model ekonomi sirkuler di sektor/industri yang terkait dengan hutan, ekoteologi/ekopastoralia yakni adanya peluang pengajaran teologi yang lebih berdimensi ekologis dan adanya keselamatan, serta adanya pertobatan ekologis yang disertai dengan aksi nyata.
Selain menjelaskan tentang hutan dan wacana pembangunan berkelanjutan, Pak Sonny juga menegaskan pentingnya merawat rumah kita seperti yang tercantum ensiklik Laudato Si. Pandangan Paus Fransiskus mengenai lingkungan hidup dalam ensiklik ini, menurutnya, sebenarnya mengajak umat Katolik dan masyarakat pada umumnya agar menjalin relasi yang akrab tidak hanya dengan Tuhan dan sesama tetapi juga dengan lingkungan hidup tempat manusia tinggal dan rumah bagi pencipta lainnya. “ Seruan Paus Fransiskus ‘Terpujilah Engkau, Tuhanku!’ bukan sekedar wujud kekaguman, yang mendorong kita untuk berdoa, melainkan juga untuk menjaga dan merawat lingkungan hidup,” tegasnya.
Paus Fransiskus, lanjutnya, menganut etika biosentrisme dan ekosentrisme dengan kearifan ecosophy. Beberapa hal yang ia rangkum adalah bagaimana merawat habitat kehidupan secara arif bijaksana, bagaimana menunjang hidup dengan udara dan air, makanan, energi dan obat-obatan tanpa pernah berkalkulasi dan menuntut balik persis seperti Ibu yang merawat dan membesarkan tanpa menuntut balik. “Pemahaman akan etika biosentrisme dan ekosentrisme dengan kearifan ecosophy ini kembali menegaskan kesadaran ekologis sebagai bagian dari panggilan kemanusiaan dewasa ini,” lanjutnya. Menutupi pemaparannya, Dr. Sonny mengutip Santo Fransiskus dari Assisi dalam Gita Sang Surya yang mensyukuri pemberian Tuhan lewat alam, sumber kehidupan manusia.
Ferdy Hasiman: Kiblat Pembangunan Nasional
Setelah pemaparan materi dari Dr. Sonny Keraf, dilanjutkan dengan pemaparan materi dari Ferdy Hasiman. Dalam pemaparannya, Ferdy Hasiman lebih memfokuskan perhatian pada pemerintahan presiden Jokowi. Tahun 2014, Presiden Jokowi sudah sangat gencar untuk memasuki industrialisasi. Di sektor tambang ada hilirisasi industri tambang. Menurut Ferdy, ini adalah hal yang positif dari undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang mineral dan tambang yang sudah direvisi menjadi undang-undang nomor 3 tahun 2020 tentang mineral dan batu bara. Karena sebelumnya Indonesia adalah negara paling ekstraktif menjual bahan mentah tambang dengan harga yang sangat murah dan masayarakat hanya menjadi buruh tambang dengan upah yang sangat rendah.
“Menurut saya ini sangat penting sebagai titik pijak awal bagaimana Indonesia mengubah paradigma dari paradigma ekstraktif menuju paradigma industrialisasi. Sejak 2014 bahkan hingga sekarang sudah ada sekitar 30 pabrik smelter di dalam negeri seperti nikel, tembaga, batubara dan sebagainya yang sudah mulai membangun proyek hilir. Di sektor sawit, Indonesia sudah memasuki proyeksi dan ini menurut saya respon yang sangat bagus dari pemerintah karena di satu sisi negara-negara Eropa sudah melakukan kampanye besar-besaran di parlemen yakni kampanye negatif tentang sawit Indonesia dan ini sangat berbahaya kalau pemerintah tidak mengambil jalan karena kita tahu industri sawit kita termasuk industri yang paling besar di dunia. 42 % sawit dunia dikontribusi dari sawit Indonesia,” tegasnya.
Meskipun ada efek positif dari industrialisasi sawit, namun hal negatif tidak dapat dihindarkan. Industrialisasi, lanjutnya, memang tidak bisa dielakkan tetapi upaya untuk melestarikan lingkungan sangat penting karena konstitusi berbicara soal pembangunan ekonomi berkelanjutan.
“Jika ekonominya tidak berkelanjutan bisa saja Indonesia akan bubar karena kerusakan lingkungan dan proses deforestasi yang sangat masif. Restorasi itu tidak akan berjalan di tengah gempuran berbagai kepentingan oligarki dan kepentingan berbagai industri strategis. Oleh karena itu kita harus melacak dasar konstitusi perlindungan lingkungan hidup,” tandasnya.
Indonesia, lanjutnya, memiliki jaminan konstitusi yang menjadi sumber dari segala sumber hukum bagi penyusunan peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup yaitu pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. “Kedua pasal itu menampilkan bahwa UUD 1945 mengakomodasi perlindungan konstitusional baik terhadap warga negaranya untuk memperoleh lingkungan hidup yang memadai maupun memberikan garansi bagi tatanan lingkungan hidup yang lestari atas dampak negatif dari beragam aktivitas pembangunan nasional,” tegasnya.
Solusi: Menuju Restorasi Hijau
Menurut Ferdy Hasiman, proses menuju lingkungan hijau akan menemukan jalan terjal, berliku-liku dan panjang. Terjal karena Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup harus menghadapi berbagai kepentingan korporasi dan politik. Namun menurutnya, restorasi hijau segera dimasukkan dalam kebijakan hutan dan lingkungan. “Untuk mencapai restrorasi hijau, pemerintah perlu merevisi kebijakan dan prosedur untuk menjamin daya tahan hutan dan tak mengubar penjualan konsensi hutan hanya untuk kepentingan investasi skala besar yang merusak lingkungan hidup. Kebijakan yang baik harus dikalakulasi semua cost dan benefit guna meningkatkan managemen tata kelola hutan dan lingkungan hijau,” tandasnya.
Ada beberapa hal yang ditawarkan oleh Ferdy Hasiman dalam upaya menuju restorasi hijau, yakni pertama komit pada perjanjian global. Berbagai kesepakatan internasional telah dilakukan dan pemerintah Indonesia terlibat aktif di dalamnya. Pemerintah Indonesia misalnya terlibat dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro. Komitmen politik itu penting karena masalah kerusakan hutan dan pembakaran hutan sudah menejadi masalah permanen di negeri ini. Korbannya pun bukan hanya orang Indonesia, tetapi warga negara tetangga, seperti Malyasia dan Singapura. “Solidaritas antara bangsa-bangsa saya kira menjadi penekanan penting membangun komitmen politik agar kita bisa mengolah lingkungan dan hutan dengan baik” tegasnya.
Kedua, green net national product. Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan menuju restorasi hijau, Ferdy menganjurkan agar parameter pembangunan bukan hanya diukur berdasarkan penerimaan negara atau Produk Domestic Bruto (PDB), tetapi perlu memakai Green Net National Product (NPP) untuk menilai dan mengavaluasi kerusakan akibat penambangan terhadap lingkungan hidup.
Ketiga, green banking. Green Banking artinya, pelaku perbakan harus bertanggung jawab juga terhadap lingkungan hidup. Maka, sebelum memberi kredit bank harus cermat dan teliti. Pelaku usaha yang meminjam ke bank wajib memberikan laporan rinci terkait lingkungan hidup. Selain itu harus mendapat rekomendasi dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. “Korporasi yang meruska lingkungan hidup dan tak menjaga ketahanan bumi harus ditolak atau tak perlu diberi kredit. Ini salah satu jalan agar kita bisa meredam dan menjinakan laju korporasi yang kerap merusak lingkungan hidup” tegasnya.
Beberapa tawaran solutif tersebut menurut Ferdy merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk mendukung program restorasi hijau supaya semua orang bisa mengolah lingkungan hidup dengan baik.
Sesi Diskusi
Setelah kedua narasumber memaparkan materinya, moderator membuka kesempatan kepada para peserta webinar untuk mengajukan pertanyaan yang relevan dengan tema yang sedang dibahas. Defry Nogo, mahasiswa Unika Atma Jaya, Jakarta, misalnya, bertanya tentang perdagangan karbon. Menurut Defry, perdagangan karbon diklaim sebagai salah satu solusi mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca. Akan tetapi, yang menjadi soal adalah,mekanisme itu ternyata bisa membuka ruang yang lebih luas bagi para pelaku industri ekstraktif untuk tidak lagi risau dengan tanggungjawabnya mengubah pola bisnis yang tadinya polutif menjadi ramah lingkungan. Mereka tetap bisa memproduksi barang dengan emisi karbon tanpa batas, setelahnya membayar kompensasi atau pajak kepada pemerintah. Ini akan berlangsung terus menerus, akibatnya perdagangan karbon tidak berdampak dan malah memperparah emisi gas rumah kaca. Kepada kedua narasumber, Defry menanyakan terkait mekanisme yang harus dipakai pemerintah untuk mengendalikan perilaku sektor industri ekstraktif seprti ini?
Terhadap pertanyaan tersebut. Dr. Sonny menjelaskan bahwa perdagangan karbon dilakukan dengan pembayaran kompensasi oleh negara-negara industri maju yang memproduksi karbon dalam jumlah tinggi kepada negara lain dengan potensi hutan yang luas seperti Indonesia. “Tantangannya memang banyak, selain yang tadi diutarakan penanya, persoalan lain adalah tentang bagaimana menetapkan pengukuran yang tepat terkait kadar karbon yang diperdagangkan sehingga tidak beresiko bagi kelestarian hutan dan masyarakat sekitar,” tegasnya. Senada dengan Dr. Sonny, Ferdy Hasiman menjelaskan tantangan lain terkait perdagangan karbon ini. Menurutnya, tantangan lain dari perdagangan karbon adalah tentang bagaimana menentukan mekanisme dagang yang tepat untuk barang non intrinsik seperti karbon. “Langkah paling baik mengurangi emisi gas rumah kaca sebetulnya adalah dengan terus mengupayakan produksi energi baru terbarukan (EBT) karena dinilai lebih ramah lingkungan,” tandasnya.
Selain Defry Nogo, ada beberapa peserta lain yang meminta penegasan dari kedua narasumber terkait materi yang dipaparkan.*
*Febry Suryanto dan Atro Sumantro.
SHARE THIS
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vestibulum volutpat tortor nec vulputate pe0
Cras consectetur suscipit nisi a fermentum. Class aptent taciti sociosqu ad litora
Vivamus convallis lobortis dolor, eu varius ipsum tincidunt sed. Suspendisse sit amet ante ullamcorp0
Nulla vitae urna orci. Nunc at dictum ligula, vel suscipit nunc.
© Copyright 2025 by Ledalero Institute of Philosophy and Creative Technology - Design By Ledalero Institute of Philosophy and Creative Technology

