Sabtu, 28 Agustus 2021, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero menyelenggarakan seminar. Seminar ini menjadi rangkaian penutupan OSPEK bagi Mahasiswa/I STFK Ledalero. Tema seminar kali ini adalah Gereja dan HAM Berbasis Gender. Seminar ini dilakukan di Aula ST. Thomas Aqunias Ledalero. Kegiatan ini dimulai pada pukul 09.00 WITA yang dihadiri oleh para Mahasiswa/I OSPEK STFK Ledalero. Selain itu juga, para dosen dan juga Mahasiswa/I STFK Ledalero lainnya mengikuti seminar ini secara daring melalui via zoom.
Setelah ucapan selamat dari pembawa acara, Saudara Vino Maing, dilanjutkan dengan sambutan pembuka yang dibawakan oleh ketua STFK Ledalero, Pater Dr. Otto Gusti Ndegong Madung, SVD. Protokol kesehatan tetap diperhatikan oleh para peserta OSPEK Mahasiswa/I STFK Ledalero selama seminar ini berlangsung.
Dalam sambutan pembuka, Pater Dr. Otto Gusti Ndegong Madung, SVD memberikan ucapan selamat kepada Ibu TH. Sri Endras Iswarini, SH. MA yang akan menjadi pembicara dalam kegiatan ini. Selanjutnya, Pater Otto memberikan informasi terkait dengan jumlah Mahasiswa/I STFK Ledalero. Saat ini Mahasiswa/I STFK Ledalero berjumlah 1. 424 orang dan ditambah dengan 290 Mahasiswa/I baru, dan 80 orang Mahasiswa teologi. Selanjutnya, saudara pembawa acara mempersilahkan moderator untuk memandu keseluruhan seminar ini.
Moderator dalam seminar kali ini adalah Pater Servinus Nahak, S.Fil., M.TH. Selanjutnya, Ibu Rini mengawali presentasi seminar dengan mengerucutkan kembali tema yang telah digagas sebelumnya menjadi Upaya Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan.
Ibu Rini mengatakan bahwa isu kekerasan terhadap perempuan merupakan bagian dari ilmu sosial yang mesti mendapatkan pencerahan (enlightment). Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelecehan martabat manusia. Oleh karena itu, kasus kekerasan ini mesti mendapat perhatian yang serius.
Sebagaimana yang terdapat dalam ilmu HAM, semua hak-hak asasi manusia mesti dipenuhi, dimajukan oleh setiap negara yang menjadi pemerhati HAM. Di sini negara seharusnya bertanggung jawab terhadap setiap individu yang menjadi korban kekerasan. Hal ini mesti dilakukan karena HAM bersifat melekat dalam diri setiap orang. Karena HAM bersifat melekat, maka hak yang dimiliki oleh setiap individu tidak boleh dilanggar, dilecehkan oleh siapa pun, tegasnya.
“Dalam konteks Indonesia, upaya perlindungan hak ini diatur dalam pasal 28A yang berbunyi; “Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan; setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” juga pada pasal 28C ayat 2, “Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil”. Lebih jauh pada konteks hak perempuan ini juga diatur dalam Konvesi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW). Konvesi CEDAW ini telah diratifikasi di Indonesia dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1984,” kata Ibu Rini.
CEDAW atau ICEDAW (Internasioal Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women) adalah sebuah kesepakatan Hak Asasi Internasional yang secara khusus mengatur hak-hak perempuan. Konvesi ini mendefenisikan prinsip-prinsip tentang hak asasi manusia dan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Ada 3 prinsip utama dari CEDAW; Pertama: persamaan substantif. Memandang persamaan hak laki-laki dan perempuan secara sama dan setara. Kedua: non-diskriminasi atau tidak ada diskriminasi dalam berbagai latar belakang entah terlahir sebagai perempuan dan laki-laki. Ketiga: kewajiban negara untuk bertanggung jawab untuk memastikan persamaan hak terhadap laki-laki dan perempuan dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. Negara mesti melakukan tanggung jawabnya untuk melindungi persamaan hak laki-laki dan perempuan.
Selanjutnya, Ibu Rini memberikan pemahaman tentang apa itu seks dan gender. Seks itu adalah perbedaan jenis kelamin yakni laki-laki dan perempuan yang memiliki organ reproduksi yang berbeda, baik dilihat dari dalam maupun luar. Demikian pula dengan jenis hormon pada tubuh laki-laki dan perempuan. Sedangkan, gender dipahami sebagai persepsi masyarakat atau yang mengacu pada peran, perilaku, ekspresi dan identitas seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Gender juga merupakan pembedaan yang diakibatkan oleh konstruksi sosial. Pembedaan ini juga dikarenakan suatu realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat. Misalnya; anggapan masyarakat bahwa perempuan tidak bisa mencari nafkah, melainkan hanya laki-laki yang mampu mencari nafkah, atau pun juga, anggapan bahwa perempuan tidak boleh menjadi presiden.
Kekerasan berbasis gender sebagaimana terjadi sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus, yang terdiri dari kasus yang ditangani oleh; 1) Pengadilan Negeri/ Pengadilan agama sejumlah 291.677 kasus. 2) Layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 8.234 kasus. 3) Unit pelayanan dan rujukan (UPR) Komnas perempuan sebanyak 2.389 kasus, dengan catatan 2.134 kasus merupakan kasus berbasis gender dan 255 kasus di antaranya adalah kasus tidak berbasis gender atau yang tidak memberikan informasi.
Sebagai penutup, Ibu Rini menawarkan solusi bahwa dalam menyikapi fenomena ini Gereja tidak tinggal diam. Gereja mesti berperan aktif dalam menangani fenomena ini. Gereja mesti melihat manusia sebagai bagian dari wajah Tuhan. Sebagai wajah Tuhan, maka Gereja harus melindungi setiap korban dari fenomena ini. Tidak hanya itu, Gereja mesti bersikap solider dengan anggota-anggota yang menjadi korban dari ketidakadilan gender. Bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, membantu proses penyembuhan kepada mereka yang menjadi korban dan keluarga, pemusatan pemulihan. Keberpihakan ini diperkuat dalam hukum gereja yakni solidaritas terhadap korban. Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita (1 koritus 12:26).
Seturut pemantauan tim Redaksi, seminar yang terjadi pada penutupan OSPEK Mahasiswa/I Ledalero ini berjalan lancar. Sebelum mengakhiri seminar ini, Pater Ve berujar, “kita hidup di suatu zona merah, zona di mana terdapat kasus kekerasan terhadap perempuan tinggi. Kasus ini sering terjadi karena ada surplus kekuasaan. Kita diundang menjadi komunitas penyembuh. Protokol perlindungan mesti dilakukan terhadap pihak korban.”
SHARE THIS
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vestibulum volutpat tortor nec vulputate pe0
Cras consectetur suscipit nisi a fermentum. Class aptent taciti sociosqu ad litora
Vivamus convallis lobortis dolor, eu varius ipsum tincidunt sed. Suspendisse sit amet ante ullamcorp0
Nulla vitae urna orci. Nunc at dictum ligula, vel suscipit nunc.
© Copyright 2025 by Ledalero Institute of Philosophy and Creative Technology - Design By Ledalero Institute of Philosophy and Creative Technology

