Pekan Ketiga Studium Generale, Dr. Puplius Meinrad Buru Tawarkan Model Pastoral Mistagogi bagi Agen Pastoral

img

(Ket. foto: Suasana saat Studium Generale pekan ketiga di Hotel Pelita, Maumere)

Dr. Puplius Meinrad Buru, sebagai pemateri Studium Generale (Kuliah Umum) “Hubungan Iman dan Adat” pekan ketiga dengan judul “Darah Hewan Kurban–Darah Kristus: Apakah Darah Kristus Tidak Cukup untuk Melindungi Manusia dari Kekuatan Jahat” menawarkan model pastoral mistagogi bagi para agen pastoral, Sabtu (2/10/2022) sore, di Hotel Pelita, Maumere. Hal ini disampaikannya saat menanggapi dan menjawab pernyataan dan pertanyaan dari peserta yang hadir.

Dr. Puplius dalam pemaparan materinya, mengatakan bahwa tidak mudah untuk meninggalkan tradisi kurban melalui pencurahan darah hewan. “Bagi masyarakat kita untuk meninggalkan tradisi kurban dengan pencurahan darah hewan secara gampang, itu tidak mungkin. Itu sama dengan kita menanggalkan identitas kita,” tandas Dr. Puplius. 

Berdasarkan rangkuman hasil penelitiannya, Dr. Puplius menyebutkan beberapa alasan mengapa orang-orang Kristen di NTT ini masih melaksanakan ritus kurban darah hewan. Pertama darah dalam ritus kurban menjadi penjamin untuk mengatasi rasa takut terhadap amarah dari leluhur.“Ritus kurban darah hewan masih dilakukan untuk mendapatkan rasa nyaman atau mengatasi rasa takut terhadap amarah atau kutukan dari leluhur, roh-roh atau kekuatan ilahi lainnya yang mengancam kesehatan, keberhasilan dalam kerja yang mengancam keselamatan hidup mereka,” ungkapnya.

Kedua, Dr. Puplius juga menyebutkan bahwa darah dijadikan sebagai simbol untuk mengucap syukur. “Darah dalam ritus kurban itu dijadikan sebagai sarana atau simbol untuk mengucapakan syukur atau sebagai penanda bahwa anggota suku telah berhasil dalam usaha mereka,” lanjutnya. Kemudian, alasan ketiga yang disebutkannya ialah bahwa darah dijadikan media untuk memohon dan mendapatkan berkat sekaligus penjamin hubungan harmonis antara manusia.. “Darah menjadi media untuk memohon dan mendapatkan berkat serta perlindungan dari dunia ilahi. Selanjutnya, darah dalam ritus kurban menjadi penjamin hubungan harmonis antara manusia,” tandasnya lagi. 

Berdasarkan hasil wawancara dan penelitian, ujar Dr. Piplius, orang-orang Kristen Indonesia, khususnya di NTT hidup dalam dua identitas sekaligus. Di satu sisi, umat Kristen di NTT masih tetap mempraktikkan ritus-ritus kurban dan dan di sisi lain, mereka juga mengimani Kristus dan menjalankan ritus-ritus keagamaan mereka. Melihat fenomena dualisme ini, Dr. Puplius, dalam kesempatan itu, memberikan sejumlah ide atau penjelasan yang dapat memberi pemahaman peserta, sehingga peserta mampu menjelaskan kepada umat yang lain, yakni tentang penyadaran umat.

 “Kita mencoba membuat penyadaran iman dan suara hati supaya lebih tajam lagi. Kita perlu menanamkan kesadaran dan keyakinan akan makna dan daya darah Kristus. Batin atau suara hati umat perlu disadarkan bahwa darah Kristus berdaya, selain menjadi serana untuk pencapaian keselamatan kekal, tetapi juga untuk memperoleh perlindungan dari kuasa jahat dan kutukan leluhur,” tegasnya.

 Kurban darah Kristus, ungkap Dr. Puplius, hanya sekali terjadi tetapi pengaruhnya berlaku untuk selamanya. Kurban Kristus ini merupakan kurban yang berkenan kepada Allah; kurban darah yang dilandaskan cinta Allah kepada manusia. Kristus mempersembahkan diri satu kali dan hidup sepanjang masa sebagai pengantara kita, di sisi kanan Bapa, serta menjadi sarana defenitif untuk penebusan dosa kita. Sedangkan, hakekat kurban Yahudi atau kurban lama, ujar Dr. Puplius, adalah kurban yang besifat lahiriah, sebenarnya tidak berdaya untuk menebus dosa manusia.   

 Selanjutnya, dalam sesi diskusi, Dr. Yohanes Monteiro sebagai moderator dalam kuliah tersebut, merangkum semua komentar, tanggapan, serta pertanyaan yang diutarakan peserta, karena hampir semua peserta menyoroti hal yang sama terkait dualisme yang dibangun oleh Gereja, di mana Gereja tidak tegas dalam memberikan larangan terhadap praktik ritus kurban yang dilakukan oleh umat Kristen.

 “Tema umum Studium Generale ini, kalau kita baca kembali hubungan iman dan adat: iman menghargai adat – adat memupuk iman, tapi pada tataran praksis ini, sepertinya dalam forum diskusi, yang kuat di sana adalah ada dualisme yang dibangun oleh Gereja. Dengan demikian, tidak ada kepastian mana yang menjadi pegangan untuk suatu kehidupan baru di dalam Kristus itu sendiri,” ungkap Dr. Hans Monteiro.

 Pada awal penjelasan untuk menanggapi komentar peserta, Dr. Puplius, terlebih dahulu menyederhanakan komentar para peserta. Bahwasanya, hampir semua komentar yang diutarakan ada semacam tuntutan yang menuntut supaya Gereja lebih tegas lagi dalam menyikapi realitas dualisme dalam tubuh Gereja itu sendiri. Selanjutnya, Dr. Puplius menjelaskan bahwa ketegasan seperti yang kita tuntut itu sebenarnya sudah ada dalam sejarah.

“Ketegasan seperti yang kita tuntut itu, sudah pernah ada dalam sejarah yang berkaitan dengan kurban. Kalau kita lihat misi-misi awal, misalnya di Eropa, misi terhadap suku-suku di Jerman, mereka semua yang sudah dibaptis, tetapi masih berpaling atau masih mempraktikkan ritus kurban diancam dengan hukuman mati. Kemudian, pada saat misi kepada suku-suku bangsa Anglo-Saxon di Inggris, menarik bahwa Paus Gregorius Agung menganjurkan para misionaris menulis surat kepada satu rahib, supaya para misionaris menempuh cara-cara diplomatis, membuat semacam langkah dalam inkulturasi, mereka tidak harus membongkar mesbah-mesbah untuk para dewa. Mereka disuruh merombak mesbah-mesbah itu, lalu direciki dengan air suci dan dijadikan tempat ibadat Kristen,” tandas Dr. Puplius.

Beriman, kata Dr. Puplius, merupakan suatu hal yang sifatnya pribadi, tetapi tidak bisa lari dari urusan komunitas–keluarga atau kelompok besar. “Secara pribadi saya bisa katakan, saya hentikan ini, tetapi secara kelompok lebih banyak, mau tidak mau harus masuk dalam itu,” tandasnya. Selanjutnya Dr. Puplius memberikan salah satu contoh yang menggambarkan bahwa sudah ada tradisi yang telah dicantumkan dalam kalender liturgi Gereja. “Kita ingat bahwa tradisi-tradisi yang ada misalnya di Eropa, di sana pesta syukur panen sudah menjadi salah satu pesta yang dicantumkan dalam kalender liturgi, yakni pada bulan September atau Oktober,” ujarnya. “Tetapi, itu lahir dari suatu tradisi, dari suatu perkembangan atau perjuangan,” tandasnya lebih lanjut.

Dr. Puplius juga menyebutkan bahwa alasan karya pewartaan agama Kristen menjadi sulit menembusi budaya-budaya di Asia itu karena para misionaris dulu impor segala hal dari tradisi di Eropa. “Mengapa pewartaan menjadi sulit agama Krsten di Asia itu sulit menembusi budaya-budaya kita. Salah satunya karena para misionaris itu impor semuanya dari Eropa. Jangan pikir pakaian rohani atau pakaian liturgi, Yesus ajarkan seperti itu, tidak, semuanya dalam perkembangan sekian kemudian dijadikan sebagai bagian dalam liturgi. Hal itulah yang diimporkan kepada kita dan pada awalnya kita tidak memperhatikan budaya kita sendiri” tegasnya.

Melihat situasi ini, Dr. Puplius, kemudian menjelaskan dan menawarkan model pastoral mistagogi bagi para agen pastoral, yang mana agen-agen pastoral harus dipersiapkan dengan baik, yakni dengan mempelajari teologi secara benar. Beliau menjelaskan bahwa dalam pastoral mistagogi para agen pastoral dituntut untuk bersedia mendampingi umat, masuk dalam siklus kehidupan umat.

“Saya pikir pastoral model apa yang perlu diterapkan ke depan. Saya sebut di sini pastoral mistagogi. Bagaimana agen-agen pastoral itu, pertama mempersiapkan diri secara baik. Tidak ada pastor dukun atau biarawan dukun saat ini. Kita perlu mempelajari teologi secara benar. Teologi yang dimaksudkan di sini bukan seperti yang diwartakan oleh para teolog Eropa atau yang kita kutip lurus-lurus dari awal-awal abad pertengahan. Saya sangka para teolog atau agen-agen pastoral mendalami itu khususnya Kitab Suci, mengambil intisari di sana, mengeluarkan bungkusan-bungkusan dari luar dan coba kita bungkus tradisi kita,” tandasnya.

Pastoral mistagogi di sini, ungkapnya lebih lanjut, menuntut kesediaan agen-agen pastoral untuk mendampingi umat masuk dalam siklus kehidupan mereka. “Kita belum mampu, misalnya hidup bersama para petani, supaya segala siklus semuanya itu kita dampingi mereka, supaya kita beri pengertian dan pada saatnya kita mengalihkan itu, kita memberi nuansa kekristenannya, membawa nilai-nilai Injil kita masukan ke situ,” ungkapnya.*

 

*Sie Pemberitaan

 

SHARE THIS