Pekan ke-4 Studium Generale, Dr. Hans Monteiro: Gereja Mengurus Orang Sampai pada Kematian

img

“Gereja itu mengurus orang sampai pada tahap kematiannya, mempersiapkan tahap terakhir agar mengalami kematian yang baik,” kata Dr. Hans Monteiro mengawali pemaparan makalahnya dalam Studium Generale sesi ke-4, pada Sabtu (15/6) di Hotel Pelita, Maumere. Makalah yang dipresentasikan oleh Dr. Hans tersebut berjudul “Liturgi Kematian dan Penyesuaian Adat Budaya dalam Semangat Pembaharuan Liturgi Konsili Vatikan II”. Moderator kegiatan tersebut ialah Dr. Puplius Meinrad Buru. 

Inti yg mau dibicarakan dalam presentasi ini, demikian Dr. Hans, yaitu bagaimana gereja memandang kematian dan liturgi kematian itu, tetapi di sisi lain perjumpaan Gereja dengan budaya lokal  memberikan tantangan sendiri bagi Geraja. Gereja coba memandang kematian itu dari peristiwa Paskah: sengsara, kematian, dan kebangkitan Kristus.

STUDIUM GENARALE 4 1Puncak dari liturgi kematian itu, katanya, adalah misa kudus dan doa-doa lainnya. “Di sana kita memuliakan Allah yang menguasai kehidupan dan kematian, dan kita memohon keselamatan jiwa dari orang yang meninggal, ikut merasakan duka cita bersama keluarga dan memberi kesaksian kepada orang yang bukan Kristen tentang harapan iman kristen.”

Selanjutnya didasarkan pada pandangan antropologis dan teologis, kematian menurut Dr. Hans adalah suatu kepastian dan manusia menyadari kematian itu berada di sekitar dirinya dan tidak tahu cara mengatasinya. Berbagai ilmu kedokteran dan ilmu pengetahuan tidak mampu mengatasi kematian. “Manusia menolak kematian karena kematian adalah batas eksistensi dirinya,” ungkap penulis buku Semana Santa Di Larantuka (Sejarah dan Liturgi) tersebut.

Manusia memerlukan pertolongan manusiawi yang sifatnya rohani dan duniawi terutama pada saat akhir hidupnya di dunia ini dan di hadapan kematian sebagai akhir hidup. Orang-orang yang berada dalam ajal terakhir, demikian Dr. Hans, memerlukan orang-orang di sampingnya. “Keberadaan sesama di sampingnya adalah suatu kekuatan tersendiri,” tandasnya.

Dia juga menegaskan bahwa Allah menentang kematian, dalam arti orang yang membuat orang lain meninggal. Dasar terakhir kematian dalam Kristiani adalah wafat dan kebangkitan Kristus, kematian-Nya yang tragis adalah paskah sampai pada kebangkitan.

Sementara sebagai fenomena umum agama, demikian Dr. Hans, orang melakukan upacara atau ritus kematian itu bukan saja untuk mereka (orang yang mati) tetapi juga untuk orang yang hidup untuk dapat mengatasi rasa takut, cemas, dan sebagainya.

“Elemen substansial dalam kultus orang mati adalah kembalinya almarhum dan penempatan fungsinya yang baru sebagai roh leluhur. Selain itu, orang mati pun dibuat peringatan tentang pengorbanannya selama kehidupan,” tegasnya.

Urusan Kematian dalam Kekristenan Awal

Pada kesempatan yang sama, Dr. Hans juga menjelaskan kematian dalam kekristenan awal. Pada awal kekristenan, menurutnya, ditemukan doa-doa bagi orang mati agar mereka mendapatkan belas kasih Tuhan pada suatu waktu (kematian). Seperti kesaksian Putra Sirak, orang mati pun jangan kau kecualikan pula dari kemurahan.

STUDIUM GENARALE 4 9Ritual Yahudi itu tetap ada tetapi pandangan tentang kematian itu sendiri yang berubah yakni kematian merupakan iman akan kebangkitan Kristus. Kebangkitan Yesus Kristus itu mengubah pandangan meskipun ritual tetap dijalankan. Kematian sebagai kembali dari dunia kepada Allah, datang kepada Allah, peralihan hidup lebih baik.

“Liturgi kematian mulai dari mengambil jenazah dari rumah, prosesi ke Gereja, jika mungkin, didoakan dari ofisi kematian, perayaan kematian dan absolusi, prosesi ke penguburan dan pemakaman,” ungkapnya.

Pembaharuan Liturgi Kematian dan Penguburan Menurut Konsili Vatikan II

Mengawali bagian ini, Dr. Hans menjelaskan tentang sakramen perminyakan. Sakramen perminyakan suci itu, demikian Dr. Hans, merupakan bagian dari liturgi kematian. Konsili Vatikan II tidak lagi menyebutnya sebagai sakramen pengurapan terakhir melainkan sakramen pengurapan orang sakit, dalam arti bukan orang yang tunggu ajal saja menerima sakramen itu, tetapi orang yang sakit, entah itu sakit berat, sakit ringan, sehingga warna ketakutan itu hilang.

Pembaharuan liturgi dalam penguburan hendaknya lebih disesuaikan dengan situasi adat dan istiadat masing-masing daerah, termasuk mengenai warna liturgi. “Ritus penguburan orang mati adalah satu bentuk pastoral wajah kekristenan yang sesungguhnya, kekristenan hendaknya dipadukan secara harmoni dengan setiap suku bangsa terutama di daerah-daerah misi,” tegas Rm. Hans.

Kremasi dan Pemujaan Para Leluhur

Dr. Hans juga, dalam presentasinya mengomentari terkait kremasi. “Hingga abad ke-19, Gereja melarang anggotanya untuk dikremasi. Karena itu bukan kepercayaan dari Gereja. Gereja percaya bahwa seperti Yesus dikuburkan demikian juga anggota Gereja dikebumikan,” ungkapnya.

STUDIUM GENARALE 4 3Namun, kremasi dibolehkan bila, menurut Kanon 1146, paragraf 3 menegaskan; Gereja menganjurkan dengan sangat agar kebiasaan saleh untuk mengebumikan jenazah dipertahankan, tetapi gereja tidak melarang kremasi kecuali jika cara itu dipilih demi alasan-alasan yang bertentangan dengan ajaran gereja.

Gereja berpandangan bahwa tubuh, jiwa, dan roh itu sendiri adalah satu kesatuan dalam diri manusia. Gereja menolak pandangan bahwa tubuh adalah penjara jiwa, maka kremasi dibolehkan untuk membebaskan jiwa dari tubuh.  “Gereja tidak bisa melepaskan roh atau tubuh dengan membuat kremasi. Kremasi diterima oleh gereja bila ada alasan higienis, ekonomis, dan sosial,” tambahnya.

Sementara terkait pemujaan leluhur, Dr. Hans mengemukakan bahwa pemujaan para leluhur didasarkan pada hubungan antara orang-orang hidup dan orang-orang mati, demikian Gereja adalah komunio orang-orang hidup dan orang-orang mati. Pemujaan terhadap orang mati, lanjutnya, memiliki landasan Kristologis yang didasarkan pada ajaran sotereologis, yakni Yesus bersolider dengan para leluhur yang berkehendak baik. Yesus turun ke dalam dunia orang mati.

“Meskipun mereka belum mendengar tentang Kristus, dengan Kristus mereka mati, karena Yesus sudah turun ke dunia orang mati. Semua leluhur yang berkehendak baik itu dirangkul di dalam Kristus. Bahwa Kristus adalah leluhur tunggal. Ia diciptakan sebelum ciptaan lain. Gereja juga melakukan seleksi terhadap segala ritus pemujaan terhadap para leluhur, apa yang baik diterima dan yang tidak baik, tidak diterima,” tutupnya.*

*Fonsi Orlando

 

 

SHARE THIS