Dr. Mathias Daven dan Ardian Cangianto dipercayakan sebagai pembicara dalam seminar pararel AFTI dan STFK Ledalero 4-5 Maret 2022, yang dilaksanakan di ruangan Clemens Parera bersama mahasiswa filsafat tingkat I A dan teologi tingkat V. Kegiatan seminar ini berlangsung pada Jumat, 4 Maret 2022 pukul 14.30-17.00 WITA.
Permulaan seminar diawali oleh pernyataan Pater Petrus C. Dogho sebagai moderator diskusi yang membuka seminar dengan mempertanyakan eksistensi manusia terhadap tindakan-tindakan intoleransi yang terjadi dalam ranah agama pada saat ini. “Apakah manusia mampu mengatasi ketegangan klaim kebenaran dengan toleransi dalam konteks Kristen, Islam dan Taoisme secara adil dalam keberagaman budaya yang ada di Indonesia?” ungkapnya dalam sapaan pembuka seminar pararel sore hari ini.
Akar Masalah
Dr. Mathias Daven sebagai pembicara pertama dalam seminar pararel ini membuka karya ilmiahnya yang berjudul “Tegangan Antara Klaim Kebenaran & Toleransi dalam Konteks Dialog Antara Islam dan Kekristenan di Indonesia” dengan menjelaskan titik fokus pembahasannya hanya pada materi Kekristenan dan Islam karena tiga alasan utama. Pertama, hubungan antara dua kelompok keagamaan di Indonesia ini amat sering dinodai oleh aksi intoleransi, terorisme dan aksi perusakan rumah-rumah ibadat dengan jumlah korban yang tak sedikit. Permasalahan yang akhir-akhir ini nampak selalu terjadi dalam hubungan agama dan budaya masyarakat Indonesia. Kedua, hubungan antara Islam dan Kekristenan diperberat oleh beban sejarah ketika pada masa kolonial dan orde lama dan masa orde baru kelompok minoritas Kristen memiliki pengaruh politis yang amat dominan. Ketiga, keruwetan hubungan antara kedua kelompok keagamaan ini juga diperkeruh oleh pandangan kulturalis yang menyamakan Kekristenan dengan peradaban Barat dan Islam dengan peradaban Timur Tengah.
“Saya akan berusaha menjawabi pertanyaan dari tiga rumusan masalah yang saya temukan ini. Bagaimana tegangan dilematis antara klaim kebenaran dan toleransi bisa dipecahkan secara beradab sehingga dapat tercipta hubungan dan kerja-sama yang damai antara Islam dan Kekristenan? Dapatkah umat muslim dan umat kristen di Indonesia berpegang teguh pada kemutlakan ajaran agama mereka masing-masing hidup bersama secara damai dan berkeadilan, tanpa sikap eksklusif mengklaim berhak menentukan hukum yang harus ditaati masyarakat?” tegasnya sebelum memberi penjelasan akhir terkait materi seminar pada kesempatan ini.
Hal ini sedikit berbeda dengan pemaparan materi kedua dari Ardian Cangianto yang membuka karyanya yang berjudul “Irrelevansi Klaim Kebenaran dalam Taoisme: Konteks Historis Indonesia” dengan memberi pemahaman pada konsep taoisme dan sejarah perkembangannya dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pemaparannya menegaskan posisi taoisme di Indonesia bahwa keberadaan agama ini sudah berlangsung lama dan tidak mengedepankan klaim kebenaran dalam sistem ajaran, penyebaran dan “dakwah”nya.
“Taoisme adalah agama yang lahir di Tiongkok dan memiliki perjalanan panjang dalam peradaban serta kebudayaan Tionghoa. Pengaruh Taoisme merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat Tionghoa baik dari segi sebagai agama maupun filsafat kehidupannya. Taoisme sebagai lembaga keagamaan terbentuk pada masa Zhang Daoling (34-156) di masa dinasti Han Timur (25-220). Ini berarti Taoisme sebagai agama sudah berumur 2000 tahun dan umur itu amatlah berpengaruh dalam etnis Tionghoa dan budayanya,” ucapnya saat memberi gambaran tentang Taoisme kepada mahasiswa STFK Ledalero. Permasalahan yang diangkat pada seminar ini memiliki kesamaan pada daya tangkap manusia terkait konsep klaim kebenaran itu sendiri dalam perkembangan agama dan budaya dalam konteks Kristen, Islam, dan Tao masyarakat Indonesia.
Relevansi Toleransi dalam Konteks Kristen, Islam dan Tao di Indonesia
Dalam pemaparannya, Dr. Matias Daven menggambarkan suatu kekhawatiran perpaduan antara agama dan budaya sebagai sesuatu yang ambivalensi. Disatu sisi agama dan budaya menciptakan suatu usaha manusia menemukan unsur toleransi dalam suatu kehidupan beragama dan berbudaya, tetapi pada sisi lain agama dan budaya juga menjadi sumber legitimasi bagi aksi intoleransi dan pembunuhan. Pandangan yang menempatkan dalam agama dalam budaya menjadi suatu jalur yang dapat menemukan manusia pada usaha mengenal lingkungan dan segala yang tercantum di dalamnya, termasuk agama itu sendiri. Untuk itu, penempatan agama dalam suatu lingkungan kebudayaan mesti dikonsepkan dan dijalankan dalam wujud secara adil dan konkret.
Penegasan itu nampak dalam penjelasannya terkait relevansi bagi masalah toleransi, “Perspektif agama sebagai sistem budaya tidak terutama melihat agama dalam kategori “benar-salah“, melainkan bagaimana agama diinterpretasikan dan dipraktikkan oleh manusia-manusia partisipan dalam suatu kebudayaan. Perspektif agama sebagai sistem budaya bisa membantu umat beragama untuk mencermati fenomena sakralisasi lembaga-lembaga ciptaan manusia sendiri (fundamentalisme agama) dan sekularisasi dimensi keagamaan hidup manusia di pihak lain. Selain itu perspektif tersebut bisa menyadarkan umat beragama akan adanya distingsi antara unsur absolut dan unsur relatif dalam agama. Selama umat beragama tidak menyadari distingsi antara dua unsur tersebut, dapat saja unsur ilahi dalam agama dengan mudah dimanipulasi untuk tujuan profan yang jauh dari semangat dasar dari agama itu sendiri yaitu keselamatan bagi semua orang”
Berhadapan dengan unsur toleransi ini, Ardian memaparkan ajaran Tao sebagai suatu kebajikan yang dilakukan untuk memperoleh keharmonisan tanpa adanya suatu intensi khusus yang hendak dicapai. Dengan suatu kebajikan tanpa intensi, kekuatan penggerak manusia semakin kuat dan titik keharmonisan kehidupan manusia semakin meningkat. Tetapi sebaliknya, jika kebajikan itu disertai intensi maka kebajikan itu hanya sampai pada tujuan atau intensi itu sendiri. Unsur toleransi manusia diperoleh pada setiap kebajikan yang dilakukan tanpa adanya suatu intensi khusus dari manusia. Ardian menegaskan hal itu dengan suatu kalimat imperatif yang tegas.
“Prinsip Taoisme sebagai ajaran dan filsafat tampak melampaui batasan atau sekat-sekat dogmatis. Hal itu terjadi karena Taoisme tidak menekankan kebenaran mutlak tetapi kebenaran relatif. Itu berarti setiap orang menggenggam dao-(jalan)nya sendiri dan semuanya bersumber dari dao, prima causa”.
Klaim Kebenaran dan Toleransi
Materi seminar yang menarik yang dibawakan oleh kedua pemateri membawa mahasiswa pada suatu ruang diskusi yang antusias dan tanggap. Beberapa diskusi hangat lahir dari pertanyaan mahasiswa yang menggugat sekaligus kritis. Dalam ruang diskusi, Elik Amut, salah satu mahasiswa pascasarjana teologi menawarkan suatu konsep pendekatan ekonomi politik sebagai salah satu faktor kemunculan gerakan radikalisme, fundamentalisme dan praktik intoleran dalam kehidupan beragama sebagai jawaban atas kondisi sosial ekonomi yang timpang.
“Dengan pendekatan ekonomi politik, manusia mampu menekankan pembangunan yang tidak merata, orang-orang yang mendapatkan porsi khusus dalam pembangunan atau pun gerakan-gerakan radikalisme teroris juga merupakan reaksi atas modernitas yang menurut mereka ancaman tertentu dalam praktik keberagaman mereka”, saran Elik dalam upaya mencapai toleransi politik manusia di Indonesia.
Pada bagian lain, Fransisko Buteres, peserta seminar tingkat V memberikan dua pertanyaan. Pada kesempatan pertama, Fransisko mempertanyakan adanya politik agama dan minimnya pemahaman manusia dalam melihat hal kemampuan beragama. Hal ini menyebabkan tegangan agama. “Apakah tidak ada klaim kebenaran dalam masalah seperti ini?” tanya Fransisko saat memberikan tanggapan sekaligus pertanyaan. Lebih lanjut, Fransisko menegaskan “Klaim Kebenaran” manusia di NTT, bahwa pada khususnya masih bertolak dari sisi modern dan tradisional, hal ini terletak pada realitas yang menunjukkan kehidupan masyarakat yang masih dualisme, seperti kehidupan manusia katolik yang dipraktikkan di dalam gereja, sementara di luar gereja bertumpu pada penyembahan berhala.
Menanggapi hal ini, Dr. Mathias menjelaskan bahwa yang dimaksud sebenarnya adalah klaim kebenaran agama. Agama menjadi yang primer dan manusia menjadi yang sekunder, sementara yang mempunyai hak bukan dogma tetapi pribadi. Lebih lanjut, agama Islam tidak mempunyai hierarki seperti Gereja Katolik. Oleh karena itu, ketika ada diskursus, politik harus ditempatkan pada tempat yang benar. “Janganlah kita men-Tuhankan politik tetapi harus men-Tuhankan Tuhan yang sebenarnya sebab politik adalah bagian dari kontruksi dunia,” ujar beliau.
Apa yang Mempersatukan Kita?
Pertanyaan penutup Dr. Mathias Daven dalam pemaparan materinya mengajak para mahasiswa melihat hakikat HAM dan pesan apa yang hendak disampaikan kepada umat manusia. Manusia mesti menciptakan nilai kemanusiaan yang adil dan mampu memberi kenyamanan kepada yang lainnya.
“Apakah betul HAM?” pertanyaan Dr. Mathias Daven ini mendorong mahasiswa melihat lebih jauh cara seharusnya memandang sebuah konsep dan mempraktikkannya dalam kehidupan. Salah satu jalan yang ditawarkan oleh mereka adalah melewati pengalaman derita. Bahwa pengalaman itu mendorong pribadi melihat HAM dengan etika derita hidup manusia itu sendiri.
*Atro Sumantro
SHARE THIS
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vestibulum volutpat tortor nec vulputate pe0
Cras consectetur suscipit nisi a fermentum. Class aptent taciti sociosqu ad litora
Vivamus convallis lobortis dolor, eu varius ipsum tincidunt sed. Suspendisse sit amet ante ullamcorp0
Nulla vitae urna orci. Nunc at dictum ligula, vel suscipit nunc.
© Copyright 2025 by Ledalero Institute of Philosophy and Creative Technology - Design By Ledalero Institute of Philosophy and Creative Technology

