Jadi Pembicara Kuliah Umum V, Robert Mirsel: Bisa Tidak Agama dan Budaya Bersinergi Untuk Menyelesaikan Persoalan Ketidakadilan Gender?

img

Pertanyaan di atas diungkapkan oleh Robert Mirsel, Drs. MA selaku pemateri dalam kuliah umum (Studium Generale) sesi ke 5, pada Sabtu (29/22) di Hotel Pelita, Maumere. “Ketidakadilan atau ketidaksetaraan gender tampaknya menjadi persoalan yang belum selesai dan mungkin juga tidak akan pernah selesai. Berbagai institusi sosial, termasuk agama dan budaya memang telah berusaha mengatasi persoalan ini, tetapi tidak cukup siginfikan, sebab alih-alih memperjuangkan keadilan gender, mereka turut menciptakan dan melanggengkan ketidakadilan gender baik dalam ideologi/ajaran maupun praktek-praktek keagaman dan kebudayaan,” demikian penjelasan awal Robert Mirsel. Maka, lanjutnya, melalui kuliah umum ini satu pertanyaan yang harus dijawab bersama ialah bisa tidak agama dan budaya bersinergi untuk menyelasaikan persoalan ketidakadilan gender?

Kuliah umum sesi ke 5 itu diberi judul, “Agama dan Budaya Bersinergi Untuk Perjuangan Keadilan Gender”. Tujuan kuliah umum ini, demikan Pater Robert, ialah mengemukakan beberapa persoalan terkait dengan isu gender, bagaimana tegangan antara harapan dan kenyataan tentang relasi agama dan budaya dalam memperjuangkan gender, dan bagaimana pula agama dan budaya diharapkan dapat bersinergi untuk perjuangan keadilan gender.

“Gender merupakan persoalan yang berkaitan dengan peran-peran di dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin, yang sejak kecil dilakukan, terutama berhubungan dengan apa yang dilakukan oleh laki-laki dan oleh perempuan. Hal ini kemudian dianggap sebagai sesuatu yang terberi atau kodrati antara laki-laki dan perempuan,” jelasnya. Ia menambahkan, gender juga berkaitan dengan seks antara laki-laki dan perempun, dan kesepakatan-kesepakatan bersama dalam masyarakat terutama berkaitan dengan hak-hak dan perimbangan kewajiban apa yang harus dilakukan oleh perempuan dan oleh laki-laki.

Di dalam isu gender ini, akan dibicarakan tentang kesetaraan gender terutama tentang hal-hal apa yang membuat laki-laki dan perempuan itu mempunyai akses yang sama terhadap hak-hak. “Namun, orang merasa omong tentang kesetaraan gender itu tidak cukup. Karena itu, kita omong tentang keadilan gender. Sebab kenyataannya bahwa itu menyangkut orang menerima peran-peran yang sudah dibagikan dalam masyarakat. Sedangkan keadilan gender itu lebih mengarah kepada sikap kritis terhadap apakah pembagian-pembagian peran itu tidak melahirkan ketidakadilan dan diskriminasi yang terkait denga isu gender,” ungkap dosen filsafat dan teologi tersebut. Tentang keadilan gender itu, Gereja dan budaya bersinergi memperjuangkannya kendati belum nampak perubahan yang signifikan.     

Agama, menurutnya, adalah seperangkat keyakinan, simbol dan praktek yang dilakukan oleh sekelompok orang berdasarkan gagasan yang sakral dan yang menyatukan kaum penganut itu ke dalam suatu komunitas sosio-religius. Sedangkan kebudayaan merupakan hasil keseluruhan pola-pola bertingkah laku, baik eksplisit maupun implisit yang diperoleh dan diwariskan melalui simbol-simbol yang akhirnya membentuk sesuatu yang khas dari kelompok-kelompok sosial termasuk perwujudannya dalam benda-benda materi.

Ia menjelaskan hubungan antara agama dan budaya di tengah dunia tidak selalu harmonis. “Ada kecenderungan bahwa agama mau mendominasi budaya, mau menghancurkan budaya. Namun, ada juga  yang melihat agama atau Kekristenan bisa hidup di suatu wilayah melalui cara inkulturasi,” katanya. Ia menganjurkan pentingnya kritis diri dan dialog. “Agama tidak selalu membawa keadilan di tengah dunia ini. Maka, sangat diharapkan untuk melakukan dialog. Agama dan budaya harus membangun dialog serta pengakuan dan penghargaan satu sama lain,” ungkapnya.

Terkait dengan ketidakadilan gender, dosen filsafat tersebut sepakat dengan beberapa penanggap yang melihat Gereja dan budaya juga mempraktekkan ketidakadilan gender, seperti distribusi tenaga kerja di paroki yang sangat jarang melibatkan kaum perempuan serta dogma/ajaran Gereja yang hanya “mengistimewakan” kaum laki-laki. Kemudian dalam lingkup budaya, seperti budaya patriarkat yang mengutamakan hak kaum laki-laki ketimbang hak perempuan, dan melimpahkan seluruh urusan rumah tangga hanya kepada pihak perempuan.

Berhadapan dengan beberapa persoalan ketidakadilan gender tersebut, Robert Mirsel mengemukakan beberapa kemungkinan agama dan budaya bersinergi untuk perjuangan keadilan gender, antara lain  agama dan budaya mesti kritis terhadap diri dan bermetanoia, agama dan buda saling mengkritisi, affirmation action, kerjasama dan kemitraan, agama dan budaya memajukan aspek-aspek etis, dan memajukan pengembangan teologi feminis berbasis pengalaman dan narasi konteks lokal. “Kalau enam unsur ini sudah dibangun, baru boleh melangkah lebih jauh untuk membangun keadilan gender,” ujarnya.

Di akhir pemaparan materinya, Pater Robert menganjurkan lima model tanggapan agama dan budaya dalam sinergitas terhadap ketidakadilan gender, yaitu model amal kasih, model input, model reformasi, model pembebasan, dan model solidaritas. “Saya lebih suka model terakhir ini, model solidaritas. Model solidaritas ini menciptakan alternatif tandingan untuk menempatkan kita sejajar. Teologi juga harus solidaritas di mana dibangun atas dasar narasi yang ada dalam masyarakat kita yang menempatkan laki-laki dan perempuan sejajar,” tutupnya.*

*Fonsy Orlando   

DOKUMENTASI

SHARE THIS