(Rektor IFTK Ledalero, Dr. Otto Gusti Madung ketika memberikan sambutan dalam upacara Wisuda Sarjana Negara Program Studi S1 Ilmu Filsafat Periode II Tahun Akademik 2021/2022 dan Program Studi S2 Ilmu Agama/Teologi Katolik Periode II Tahun Akademik 2021/2022)
"Saya harap para sarjana filsafat dan teologi yang diwisuda pada hari ini, setelah ini tidak hanya duduk bermalas-malasan sambil mengharapkan bagaimana nasib atau tetesan nasib dari atas, nasib baik atau nasib buruk itu dinantikan. Tetapi harus bekerja karena bekerja keras tidak selesai dengan ritual wisuda yang Anda alami pada hari ini," pesan Rektor IFTK Ledalero, Dr. Otto Gusti Madung dalam upacara Wisuda Sarjana Negara Program Studi S1 Ilmu Filsafat Periode II Tahun Akademik 2021/2022, dan Program Studi S2 Ilmu Agama/Teologi Katolik Periode II Tahun Akademik 2021/2022 di Auditorium St. Thomas Aquinas, Ledalero, Jumat (28/10/2022).
Rektor IFTK Ledalero mewisuda 210 lulusan pada upacara wisuda tersebut. Jumlah ini terdiri dari 177 wisudawan Program S1 Ilmu Filsafat dan 33 wisudawan Program Magister Teologi (S2).
Dr. Otto menambahkan, filsafat adalah metode berpikir kritis dan mandiri. Tantangan dan perubahan zaman hanya dapat dihadapi secara kreatif oleh seorang pribadi yang mandiri, seorang pribadi yang kritis dan terbuka terhadap peluang-peluang yang baru.
"Masa depan itu bukan nasib yang datang dengan sendirinya. Kitalah yang merancangnya. Maka pertanyaannya bukan bagaimana kita akan hidup melainkan bagaimana kita mau merancang kehidupan itu," tegasnya.
Peran filsafat sebagai sebuah metode berpikir mandiri, demikian Otto, sangat penting agar masa depan hidup manusia dan tatanan sosial tidak diserahkan pada kekuasaan nasib atau kekuatan teknologi yang dipahami secara salah sebagai sesuatu yang kodrati.
Pada kesempatan yang sama, beliau berbicara soal transformasi STFK Ledalero menuju IFTK Ledalero. Perubahan dari STFK menuju IFTK, terang Dr. Otto, menunjukkan bahwa filsafat dan teologi berkembang dalam dialektika dengan tantangan dan tanda-tanda zaman yang terus berubah.
“Transformasi ini juga menggambarkan secara simbolik dunia yang akan Anda hadapi sebagai sarjana filsafat dan juga sarjana teologi di masa depan,” tambahnya.
Dia menerangkan bahwa dewasa ini kita dihadapkan dengan tantangan di mana kapitalisme tidak lagi mengenal batas akhir tetapi batas-batas baru yang selalu berusaha untuk dilampauinya. Di bawah cengkeraman kapitalisme, bukan hanya materi fisik tetapi juga unsur-unsur metafisis direduksi menjadi resources atau sumber daya ekonomi.
“Kita ambil saja contoh waktu. Dalam sejarah filsafat kita belajar bahwa waktu seperti halnya ruang, dipandang sebagai syarat apriori atau syarat metafisis penginderaan. Artinya peristiwa hari ini di mana 210 orang mahasiswa diwisuda hanya dapat ditangkap oleh indera kita karena kita sebagai subjek memiliki syarat apriori di dalam kepala yakni ruang dan waktu. Namun, kapitalisme perlahan-lahan melucuti makna metafisik waktu dengan mengkuantifikasikannya. Hal ini ditunjukkan secara kasat mata dalam ungkapan time is money yang menjadi prinsip hidup setiap kita. Waktu adalah uang adalah ciptaan kapitalisme sejak revolusi industri yang kedua. Waktu mulai dihitung. Waktu adalah harta yang berharga yang harus digunakan secara ekonomis dan tidak boleh diboroskan,” jelas Dr. Otto.
Menurut Dr. Otto, itulah titik awal lahirnya pemikiran efisiensi atau apa yang para filsuf dari mazhab Frankfurt namakan akal budi instrumental. Pemikiran efisiensi atau akal budi sasaran tujuan, lanjutnya, kini dalam evolusi digital atau revolusi 4.0 mendapat nuansa baru. Efisiensi sebagai optimalisasi tidak hanya diterapkan pada proses produksi. Lebih dari itu, manusia sendiri yang harus mengalami proses optimalisasi.
Manusia yang ada sekarang dianggap masih memiliki sejumlah defisit karena itu harus disempurnakan, harus dioptimalisasi. Optimalisasi manusia dalam tradisi filsafat, demikian Dr. Otto, bersifat etis yakni agar manusia menjadi lebih adil, lebih peduli terhadap sesama dan juga lebih rasional. Dengan demikian obsesi manusia terhadap kuasa, terhadap harta, terhadap popularitas dapat dikendalikan secara lebih baik. Namun dalam revolusi digital yang harus dioptimalisasi adalah profit.
“Optimalisasi pada manusia artinya menjadikan manusia sebagai robot atau mesin. Itulah antropologi atau gambaran tentang manusia seorang homo digitalis. Gambaran manusia tanpa etika ini akan menciptakan masyarakat yang inhuman, masyarakat barbar yang bekerja berdasarkan logika hukum rimba. Pandangan ini harus menjadi tantangan dan sekaligus objek kajian filsafat tapi juga kajian teologi yang serius,” ungkapnya.
Itulah sebabnya, Dr. Otto Gusti mengharapkan agar dengan ilmu filsafat dan teologi yang dipelajari selama ini di STFK Ledalero, para wisudawan dapat berpikir kritis dan mandiri. Tantangan dan perubahan zaman hanya dapat dihadapi secara kreatif oleh seorang pribadi yang mandiri, seorang pribadi yang kritis dan terbuka terhadap peluang-peluang yang baru.
“Akhirnya atas nama seluruh civitas akademika IFTK Ledalero, sekali lagi saya mengucapkan selamat dan proficiat bagi para wisudawan dan wisudawati. Saya harap kamu tetap menjaga api daya kritis kamu juga ketika kamu bekerja di lembaga-lembaga yang lain,” ucapnya mengakhiri sambutannya dalam upacara wisuda tersebut.*
*Febry Suryanto
SHARE THIS
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vestibulum volutpat tortor nec vulputate pe0
Cras consectetur suscipit nisi a fermentum. Class aptent taciti sociosqu ad litora
Vivamus convallis lobortis dolor, eu varius ipsum tincidunt sed. Suspendisse sit amet ante ullamcorp0
Nulla vitae urna orci. Nunc at dictum ligula, vel suscipit nunc.
© Copyright 2025 by Ledalero Institute of Philosophy and Creative Technology - Design By Ledalero Institute of Philosophy and Creative Technology

