Studium Generale (kuliah umum) yang diselenggarakan oleh Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero memasuki sesi terakhir pada Sabtu (12/11) di Hotel Pelita, Maumere. Pembicara dalam sesi terakhir ini ialah Alfonsus Mana, Drs., Lic. Pater Alfons membicarakan beberapa perubahan pada Kitab Hukum Kanonik (KHK) dan implikasinya bagi kehidupan Gereja.
Semenjak dipromulgasikan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 25 Januari 1983 dan mulai berlaku pada 27 November 1983, Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983 ini sudah menjadi norma dan perundang-undangan yang mengatur seluruh hidup Gereja Latin/Gereja Barat. “Semenjak itu terdapat satu dua perubahan, baik oleh Paus Yohanes Paulus II maupun pontif sesudahnya. Bahan untuk Studium Generale hari ini yaitu perubahan terhadap kanon-kanon yang dibuat oleh Paus Fransiskus, yang sekarang menjadi kepala Gereja kita,” kata P. Alfons.
Dua tahun setelah menjadi pontif, demikian P. Alfons, Paus Fransiskus sudah melakukan perubahan terhadap prosedur kanonik perkara pernyataan pembatalan nikah melalui Motu Proprio Mitis iudex Dominus Iesus. “Dalam sistem perundang-undangan, motu proprio itu dilihat sebagai inisiatif dari Paus berdasarkan keprihatinan-keprihatinannya. Tingkat tertinggi dari perundang-undangan itu adalah konstitusi apostolis,” jelasnya.
Dalam penjelasan beliau, kurang lebih ada tujuh dokumen yang berisi perubahan-perubahan pada kanon-kanon KHK dalam sembilan tahun masa kepausannya dan hal tersebut menjadikan Paus Fransiskus sebagai satu pontif yang paling memperhatikan kebaikan KHK 1983. “Secara pastoral, Paus Fransiskus sangat tanggap pada kebutuhan Gereja akan norma dan perundangan yang dapat menjawabi situasi Gereja dalam dunia kontemporer dewasa ini,” ungkap dosen Hukum Gereja tersebut.
Kemudian, lebih jauh ia menjelaskan secara khusus tiga pembaharuan dari ketujuh pembaharuan dokumen dalam KHK tersebut. Pertama, Mitis Iudex Dominus Iesus (Tuhan Yesus adalah hakim yang lembut). Dokumen tersebut berbicara tentang perkawinan. “Arah dari motu proprio ini adalah pembaharuan proses batalnya perkara perkawinan, diumumkan pada 08 september 2015, lalu dengan tujuan untuk membaharui KHK dan untuk membaharui proses batalnya perkawinan dalam Gereja kita dan dalam Gereja-Gereja Timur yang berada di bawah kepemimpinan paus kita,” jelasnya.
Pembaharuan prosedur pernyataan anulasi perkawinan merupakan jawaban Paus terhadap seruan para Uskup pada Sinode para Uskup tentang keluarga pada tanggal 05 sampai 09 Oktober 2014. Dalam Sinode itu, para Uskup menyerukan agar prosedur pernyataan pembatalan perkawinan disederhanakan sedapat mungkin, seperti salah satunya ialah tidak ada lagi naik banding ke instansi dua dalam prosedur anulasi perkawinan.
P. Alfons menjelaskan penyederhanaan proses itu diganti dengan belas kasih dan kerahiman Allah. “Gereja sebagai ibu dituntut untuk mendekatkan diri kepada anak-anaknya yang menganggap diri terpisah dari Gereja karena terikat perkawinan bermasalah,” tandasnya.
Lalu, ia menyinggung beberapa implikasi bagi kehidupan Gereja setelah berlakunya amandemen tersebut. “Khusus untuk konteks regio-regio Indonesia Timur, semakin banyak kasus perkawinan iregular dinyatakan batal oleh tribunal-tribunal perkawinan tingkat satu di setiap keuskupan. Selain itu, karena tidak ada lagi banding wajib ke instansi dua, semakin cepat para pihak berperkara menerima keputusan anulasi perkawinannya. Mereka dapat segera menikah lagi dengan pasangan baru lalu dapat menikmati berbagai harta rohani Gereja, seperti bisa mengambil sambut, dan macam-macam,” jelas P. Alfons.
Kedua, Motu Proprio Vos Estis Lux Mundi (kamu adalah terang dunia). Dokumen ini lahir sebagai tanggapan dari pontif atau akibat lanjut dari pertemuan tentang perlindungan anak di bawah umur yang diselenggarakan oleh Vatikan pada bulan Februari tahun 2019. Dokumen ini berbicara tentang pelecehan-pelecehan seksual anak. Dokumen ini menegaskan bahwa yang menetapkan aturan prosedural untuk penyalahgunaan perintah keenam dalam dekalog yang memastikan para uskup dan pemimpin tarekat religius untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri. “Ini ditujukan untuk para uskup dan para pemimpin tarekat religius agar mereka akuntabel terhadap hukum bila melakukan pelecehan seksual. Dan mereka harus melaporkan itu kepada otoritas yang berwenang,” tegasnya.
Ia menambahkan Gereja harus membuka diri dengan pemerintah untuk melawan tindakan pelecehan seksual terhadap anak dan orang dewasa yang rentan. Selain itu, perlunya kode etik tingkah laku untuk mencegah pelecehan seksual terhadap anak dan terhadap orang dewasa yang rentan.
Ketiga, Pascite Gregem Dei (gembalakanlah kawanan Tuhan). Dokumen ini dikeluarkan pada 03 Mei 2021 dan berkekuatan hukum penuh mulai 08 Desember 2021. Konstitusi apostolis ini berisikan amandemen total terhadap buku keenam KHK yang berbicara tentang sanksi pidana dalam Gereja. “Jadi kalau kita buat studi dalam dokumen ini dalam buku ke enam tentang sanksi, itu kejahatan seksual terhadap minor hanya disebutkan begitu-begitu saja. Dalam konteks yang dibaharui ini, itu lebih terperinci tentang pelecehan seksual terhadap anak. Paus mengatakan bahwa kemurahan adalah instrumen kebaikan jiwa-jiwa, tetapi bila perlu harus diterapkan prinsip keadilan dan belas kasihan,” jelas dosen teologi tersebut.
Ia menambahkan perlu diperhatikan kebajikan dan keadilan dalam otoritas Gereja menjatuhkan hukuman demi kebaikan iman. Hukuman bukanlah suatu penolakan tetapi bukti belas kasihan dari Gereja kepada pribadi yang bersangkutan.
Di bagian akhir penjelasannya, P. Alfons menegaskan bahwa tiga pembaharuan kanon-kanon dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 tersebut sungguh merupakan buah perhatian pastoral Paus Fransiskus terhadap keluarga sebagai nukleus Gereja, terhadap minor, rentan, dan terhadap para gembala Gereja. “Pembaharuan-pembaharuan ini menurut masyarakat Gereja belum sepenuhnya maksimal, tetapi merupakan langkah maju dan berani Paus Fransiskus menjawabi beberapa persoalan yang dihadapi Gereja saat ini,” tutupnya.*
*Fonsi Orlando.
Galeri
SHARE THIS
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vestibulum volutpat tortor nec vulputate pe0
Cras consectetur suscipit nisi a fermentum. Class aptent taciti sociosqu ad litora
Vivamus convallis lobortis dolor, eu varius ipsum tincidunt sed. Suspendisse sit amet ante ullamcorp0
Nulla vitae urna orci. Nunc at dictum ligula, vel suscipit nunc.
© Copyright 2025 by Ledalero Institute of Philosophy and Creative Technology - Design By Ledalero Institute of Philosophy and Creative Technology

